Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

KONSESI MODAL CHINA

  • 14 Februari 2016 - 22:32 WIB

PROYEK kereta cepat Jakarta-Bandung terus menuai kontroversi. Satu per satu masalah di seputar proyek tersebut mulai terbuka. Investor Cina, yang semula menjanjikan tidak menuntut penjaminan, nyatanya terus merengek meminta sejumlah penjaminan dan konsesi dari pemerintah.

Padahal, berdasarkan Keputusan Presiden No. 59/1972, badan usaha negara, badan usaha daerah, maupun perusahaan swasta dilarang menerima kredit luar negeri yang mengharuskan adanya jaminan pemerintah, termasuk Bank Indonesia dan bank milik negara.

Masalahnya, permintaan jaminan oleh investor Cina semacam itu bukan kali pertama terjadi. Tuntutan itu selalu mereka ajukan pada sejumlah kerja sama yang sebenarnya bersifat swasta, atau 'bussiness to bussiness' (B to B). Sayangnya, ingatan kita mengenai hal itu seringkali terlalu pendek.

Dalam acara 'Indonesia-China Forum Energy II', di Shanghai, 28 Oktober 2006, telah ditandatangani nota kesepahaman pembangunan pembangkit listrik dengan Cina. Belakangan kita menyebutnya sebagai 'Proyek Listrik 10 Ribu Megawatt'.

Nilai kerja sama investasi yang ditandatangani waktu itu mencapai US$5 miliar, atau senilai Rp170 triliun. Proyek itu ditargetkan selesai pada 2010.

Sebaran pembangkit tenaga listrik proyek 10 ribu megawatt itu meliputi Sumatera (3 ribu megawatt), Jawa-Bali (4 ribu megawatt lebih), dan sisanya untuk Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Ternyata dengan jaminan

Awalnya, perjanjiaan pembangunan pembangkit listrik bertenaga batubara itu murni 'B to B' antara PT PLN dengan investor Cina. Tetapi dalam perjalanannya investor Cina melihat adanya risiko sehingga kemudian meminta penjaminan pada pemerintah Indonesia. Penjaminan itu hanya sebatas agar pemerintah menjaga keuangan PLN agar terus dalam kondisi baik.

Sebagai tindak lanjut, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Presiden No. 71/2006 tentang Penugasan Kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Batubara dan Peraturan Menteri Keuangan No. 146/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Jaminan Pemerintah Untuk Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Yang

Menggunakan Batubara. Dua peraturan itu mengatur lingkup penjaminan proyek tadi secara lengkap, termasuk dalam hal kesehatan keuangan PLN dan penyediaan pasokan batubara.

Namun, dalam perjalanannya konsorsium bank-bank Cina yang akan mendanai proyek tersebut kemudian meminta penjaminan penuh dari pemerintah Indonesia, yang mencakup keseluruhan proyek. Pemerintah Indonesia diminta menjamin semua kerugian yang berdampak bagi investor Cina.

Meski sempat menimbulkan reaksi keras dari pihak internal pemerintah sendiri, toh akhirnya pemerintah menaikkan level penjaminan proyek tersebut dengan menerbitkan Peraturan Presiden No. 91/2007 tentang jaminan penuh proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt dengan bahan bakar batubara.

Dengan keluarnya penjaminan penuh, Indonesia sebenarnya bisa mendapatkan pendanaan dengan bunga yang jauh lebih murah dan persyaratan pinjaman lebih ringan. Dan peluang pendanaan itu bukan hanya bisa berasal dari perbankan Cina, tapi juga dari luar itu. Nyatanya hal itu tidak terjadi.

Ternyata bunga kredit yang diberikan Cina tetap saja tinggi. Peluang untuk mendapatkan pendanaan dari pihak lain juga secara tidak langsung tertutup, karena sejak awal lelang, kontraktor Cina segera saja mendominasi pelaksanaan proyek tersebut. Delapan dari sepuluh proyek PLTU berbahan bakar batu bara di Jawa dikerjakan oleh kontraktor Cina.

Dipilihnya kontraktor Cina memang karena mereka menawarkan harga paling murah, sekaligus datang dengan pembiayaan dan pelaksana pembangunannya, termasuk dukungan oleh bank ekspor impor mereka. Hanya, sebagaimana yang bisa dilihat dari permintaan jaminan tadi, harga murah itu akhirnya harus dibayar mahal.

Pada pertengahan 2009, atau dua setengah tahun berjalan sesudah nota kesepahaman itu ditandatangani, tindak lanjut komitmen investasi tadi belum juga terlihat. Hambatan tetap berkisar di aspek pendanaan kerjasama tersebut.

Efek pembilan MA-60

Sesudah diusut, macetnya pembiayaan proyek tadi, dan tingginya bunga yang harus dibayar oleh PLN'meskipun pemerintah sudah memberikan penjaminan penuh, adalah karena belum jelasnya pembelian pesawat MA-60 oleh PT Merpati Nusantara Airlines (MNA).

Sebelumnya, pada 7 Juni 2006, Merpati meneken nota kesepahaman pembelian 15 pesawat MA-60 dengan Xian Aircraft. Itu adalah jenis pesawat berpenumpang 60 orang. Sebagai awalan, dua pesawat diterima pada Oktober 2007.

Masalahnya, dua pesawat yang diterima Merpati pada 2007 itu ternyata buruk sekali kualitasnya, karena ditemukan crack pada sayap belakangnya, sehingga harus di-gorunded semuanya. Karena tidak ingin dirugikan,

Merpati membatalkan nota kesepahaman pembelian pesawat tadi. Apalagi, harga pesawat MA-60 itu belakangan juga dinilai terlalu tinggi.

Nilai 15 pesawat tadi mencapai US$232 juta (US$ 15,4 juta per persawat, termasuk spare parts dan simulator).

Tahun 2009, Xian Aircraft menggugat Merpati karena belum juga menyelesaikan pembayaran pembelian 15 pesawat tadi.

Nilai gugatan mencapai Rp1 truliun. Masalah antara Merpati dengan Xian Aircraft itulah, yang sebenarnya bersifat 'b to b', yang telah membuat pencairan dana proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt tersendat.

Pihak Cina berargumen bahwa karena pemerintah Indonesia dianggap tidak lagi menghormati MoU tentang jual beli pesawat dengan Cina tadi, maka pihak perbankan Cina menunda pencairan tahap pertama dari pinjaman dana pembangunan pembangkit listrik, yang nilainya sekitar US$3 miliar.

Mendapatkan ancaman gugatan tersebut, direksi Merpati umumnya mengaku tidak gentar. Penolakan diteruskannya nota kesepahaman tersebut, menurut mereka, lahir sesudah dilakukan analisis teknikal dan komersial lebih lanjut yang berujung pada kesimpulan tidak menguntungkannya kerja sama tadi bagi BUMN tersebut.

Merpati mengaku tidak takut jika pihak Cina melayangkan gugatan ke arbitrase terkait pembatalan pembelian pesawat MA-60.

Merpati bahkan mengklaim bisa menggugat balik Xian Aircraft karena mereka telah dirugikan akibat mendapatkan pesawat dengan kualitas yang buruk. Penilaian itu memang tidak mengada-ada. Pada 7 Mei 2011 kita tahu pesawat MA-60 milik Merpati jatuh di Teluk Kaimana, Papua.

Meskipun demikian, pada 8 Juni 2011, pemerintah memutuskan bahwa Merpati harus tetap membeli 15 pesawat MA-60 tadi. Itu dilakukan untuk melancarkan proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt yang mendapat pendanaan dari Cina tadi.

Pada tahun itu Merpati kembali menerima 6 unit pesawat MA-60.

Pembangkit 10 ribu megawatt tidak mulus

Pada Oktober 2011, Menteri Keuangan Agus Martowardoyo berkirim surat kepada Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Armida Alisjahbana, isinya menolak pembiayaan Cina atas PLTU Takalar dan PLTU Pangkalan Susu.

Waktu itu Agus juga menolak pembiayaan dari Cina karena kecewa melihat kinerja kontraktor-kontraktor Cina pada proyek pembangkit listrik PLN.

Menjawab surat itu, Kementerian PPN meminta agar kontraktor asal Cina yang menangani kedua proyek 10 ribu megawatt itu diganti karena tidak memiliki kapabilitas membangun pembangkit tenaga listrik.

Kita tahu, proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt itu kemudian memang mangkrak. Hingga November 2012, pembangunan tahap pertama proyek tersebut tidak mencapai target, kurang dari 60 persen. Itu terutama disebabkan karena rendahnya kualitas mesin pembangkit bikinan Cina.

Berbeda dengan kontraktor Eropa, Jepang, dan Amerika menerapkan kontrol kualitas ketat, karena hal itu menyangkut reputasi perusahaan mereka, hal yang sama umumnya tidak berlaku pada kontraktor Cina.

Mereka tidak mengenal konsultan dan pengawas pekerjaaan, sehingga kualitas pekerjaan mereka rendah.

Proyek yang semula dibayangkan akan berharga murah dengan berbagai fasilitas pembiayaan menarik dari para kreditor, seperti yang menjadi jualan para investor Cina, akhirnya tak berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Bukan hanya itu, selain harus menerima harga riil yang lebih mahal karena rendahnya kualitas pembangkit buatan Cina, untuk memuluskan pendanaan proyek tersebut kita juga kita telah menjadikan sebuah BUMN kita sebagai tumbal. Sejak Februari 2014, kita tahu, Merpati tidak lagi beroperasi karena kesulitan keuangan. Sebagian adalah karena beban utang akibat pembelian pesawat MA-60 tadi.

TIdak belajar dari 10 ribu megawatt

Lalu, apakah pemerintah sudah banyak belajar dari proyek-proyek tadi Sepertinya tidak. Apalagi sejumlah figur yang pernah terlibat dalam proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt dan penanganan kisruh Merpati tempo hari, kini kembali menjabat. Dan kali ini mereka bukan lagi menawarkan agenda pembangkit listrik 10 ribu megawatt, tapi 35 ribu megawatt.

Sebagaimana proyek terdahulu, sejumlah lelang yang telah diadakan PLN bagi proyek baru tadi disinyalir hanya menguntungkan kontraktor dari negara tertentu, dan membatasi kesempatan kontraktor lainnya. Itu sebabnya Komisaris Utama PLN, Kuntoro Mangkusubroto, agak bersitegang dengan Direktur Utama PLN, Sofyan Basyir.

Konsumsi listrik nasional kita memang tumbuh 6,7 persen per tahun, sementara kapasitas pembangkit hanya tumbuh 3,5 persen per tahun. Namun, kebutuhan itu seharusnya tak membuat mata kita jadi tertutup terhadap sejumlah kecurangan dan kemungkinan kongkalikong di belakang proyek pembangkit listrik dan berbagai proyek pembangunan infrastruktur lainnya.

Tarli Nugroho

Peneliti Mubyarto Institute Yogyakarta


TAGS:

Berita Terbaru