Aplikasi Pilbup (Pemilihan Bupati) Kab. Nias Utara Pilkada Serentak 2024

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Permentan 98/2013

  • Oleh Yohanes S Widada
  • 26 Juli 2016 - 21:01 WIB

SETIAP daerah, memiliki hak mengatur daerahnya sendiri.  Menentukan arah pembangunan daerahnya sendiri.   Membuat dan menentukan kebijakan-kebijakan sendiri. Itulah yang  terjadi di era otonomi ini. 

Tetapi berbagai distorsi muncul sebagai dampak dari  desentralisasi.  Itulah persoalan lain yang timbul setelah  era reformasi, yang mendewakan demokrasi.  Para pengamat dari luar negeri menyebut, Indonesia saat ini lebih demokratis dibanding negara-negara yang selama ini menjadi pencetus demokrasi. Indonesia malah lebih demokratis dibanding negara asal demokrasi seperti Amerika sekalipun. 

Celakanya, justru karena saking demokratisnya, Indonesia diledek  sebagai negara yang cenderung anarkis.  Anarkis  Lihat saja di panggung-panggung rapat paripurna, seluruh peserta rapat bicara. Seluruh peserta rapat interupsi.  Gebrak meja, lempar kursi..

Bahkan, diam-diam, Indonesia ini justru terlalu banyak aturan  (over regulated).  Di sana-sini terjadi tumpang tindih, terjadi centang-perentang.  Undang-undang saling bertentangan,  Peraturan  Pemerintah saling sanggah.  Bahkan, banyak  perda saling bertentangan.  Lihat saja, Presiden Joko Widodo baru saja menghapus lebih dari 3.000 peraturan daerah (perda).

Di satu sisi, kita melihat, regulasi dimaksudkan  untuk memperlancar investasi.  Tetapi, tidak sedikit yang melawan atau mengakali regulasi.  Demi mengejar oportuniti,  segala macam regulasi ditabrak. 

Sebagai contoh, demi sebuah oportuniti,   Pemkab Lamandau  membiarkan serangkaian regulasi dilanggar.  Pembangunan dua pabrik kelapa sawit (PKS) tanpa memiliki kebun sendiri, jelas melanggar regulasi.  Bahkan analisa dampak lingkungan (amdal) perusahaan tersebut juga diragukan, karena kedua pabrik itu jaraknya sangat berdekatan.

Salah satu regulasi yang dimaksud adalah Permentan No98/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.  Pasal 11 Permentan itu menyebutkan setiap pabrik kelapa sawit (PKS) harus memiliki persediaan bahan baku  20 persen dari kebun sendiri.

Selain itu juga disebutkan, setiap PKS harus terintegrasi dengan koperasi perkebunan milik masyarakat.  Selain itu, koperasi tersebut kelak harus menjadi pemegang saham PKS tersebut.

Dua hal itu jelas diabaikan oleh dua PKS  ini. Permentan juga meminta (pasal 45), agar Gubernur/bupati/walikota yang  memberikan izin atas perusahaan itu  harus melaporkan kepada Menteri Pertanian.

Yang jelas, ditabraknya regulasi permentan tadi, bukan karena alasan otonomi. Bukan pula karena demokrasi.  Malah, itu indikasi adanya anarki.  

Berita Terbaru