Aplikasi Pilbup (Pemilihan Bupati) Kab. Maros Pilkada Serentak 2024

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Sejumlah Aspirasi Raja-Sultan Mengemuka di Seminar FKN X Tahun 2016

  • Oleh Raden Aryo Wicaksono
  • 12 Oktober 2016 - 06:40 WIB

BORNEONEWS, Pangkalan Bun - Banyak hal  mengemuka dan jadi pembahasan seminar Festival Keraton Kesultanan (FKN) X Tahun 2016, di Aula Universitas Antakusuma, Pangkalan Bun, Senin (11/12/2016). Di antaranya mengenai hasil studi sejarah keraton kesultanan tertentu, permasalahan yang muncul atau dihadapi keraton dan posisi serta hak eks-kesultanan atau kerajaan nusantara.

Terdapat tiga narasumber yang hadir sebagai pembicara di seminar bertemakan Peran dan Fungsi Keraton dalam Menghadapi Tantangan Zaman tersebut. Yakni, Dr.H.M.Ali Fadhilah,MA, Drs.H.Choirul Fuad Yusuf M.Fil dan Dr.Edy Ikhsan SH.,MA. Materi yang disampaikan masing-masing narasumber tersebut, umumnya berkaitan dengan sejarah peran dan fungsi keraton dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Dalam paparannya, Drs. H. Choirul Fuad Yusuf M. Fil menganggap, sistem pemerintahan, ekonomi, perdagangan dan sosial yang dijalankan keraton kesultanan dan kerajaan Nusantara di masa lampau, sebagian besar dijadikan dasar atau landasan pembentukan pemerintahan NKRI. Termasuk ideopolitik dan kebudayaan bangsa. Menurutnya, hal tersebut layak dipertahankan. Melalui forum FKN ini, dirinya berharap keraton dapat terus berperan sebagai filter masuknya pengaruh luar yang bersifat destruktif.

Di tempat sama, Dr. H. M. Ali Fadhilah, MA menyebut, perlu ada revitalisasi peninggalan kesultanan dan kerajaan Nusantara. Khususnya, sistem dan komoditas ekonomi serta perdagangan yang dahulu pernah berjalan di era kesultanan. Hal tersebut penting agar peran dan fungsi keraton, dalam menghadapi tantangan jaman menjadi lebih jelas. Dicontohkanya, di abad 14, Kotawaringin tercatat dalam peta laut cina, sebagai salah satu bandar perdagangan Asia Tenggara dan memiliki komoditas ekspor yang tinggi.

"Dulu, selain sebagai pusat pemerintahan. Pangkalan Bun juga sebagai bandar perdagangan. Dulu Pangkalan Bun pengekspor teripang dan terasi, tapi sekarang tidak. Inilah kenapa perlu dilakukan revitalisasi," kata Ali Fadhilah, Senin (11/10).

Sementara, Dr.Edy Ikhsan SH.,MA mengemukakan, perlu adanya pengakuan dari negara terhadap hak dan eksistensi masyarakat hukum adat eks-kesultanan. Ini menyangkut riwayat kepemilikan tanah atau lahan milik kesultanan yang disewa oleh kolonial Belanda dan hilang, saat terjadinya nasionalisasi perusahaan Belanda, pascakemerdekaan RI.

"Dan itu jadi bahan gugatan kita di pengadilan. Kemudian, perlu adanya produk legislasi semacam peraturan daerah. Yang mengakui dan melindungi hak masyarakat hukum adat. Seperti yang pekan lalu disahkan di Sumatera Utara," ujar Edy, yang mengaku sebagai perwakilan Kesultanan Deli, Sumatera Utara, Senin (11/10/2016)

Berbagai hasil penelitian dan studi yang dipaparkan para akademisi tersebut, cukup merangsang animo sebagian besar peserta untuk menyampaikan sejumlah pertanyaan ataupun aspirasi. Salah satunya, mengenai belum adanya pengakuan secara formal dari negara terhadap eksistensi dan hak masyarakat hukum adat, eks-kesultanan atau kerajaan Nusantara.

"Saya jauh-jauh datang mewakili masyarakat Papua, berharap keberadan kami (keraton) di tanah Papua diakui. Tapi nyatanya sampai sekarang keinginan kami itu tidak juga terpenuhi. Apa yang disampaikan profesor doktor ini, nonsense," tandas Rustuty Rumagesan, Ratu Tanah Kokoda, Putri Raja Al Alam Ugar Pik-Pik Kerajaan Sekar, Papua, Senin (11/10). 

Seminar Kurang Representatif dan Kurang Akomodatif

Terdapat berbagai aspirasi lain yang muncul dalam seminar tersebut. Namun waktu yang tersedia agaknya kurang, dibanding banyaknya aspirasi dan animo pertanyaan yang disampaikan para peserta seminar. Selain itu, tema yang diangkat dalam seminar juga dinilai kurang representatif.

"Tadi enggak respentatif. Karena temanya kalau saya lihat, bagaimana peran FKN dalam tantangan zaman. Waktunya, sepertinya terburu-buru sekali dan akhirnya banyak pertanyaan yang dijawab simple saja," keluh Agus Setiadi, seorang peserta seminar, Senin (11/10).

Tak hanya itu. Tempat dan sarana pendukung berlangsungnya kegiatan seminar juga dinilai tidak pas. Tercatat, beberapa kali gangguan padam listrik mendadak terjadi di tengah jalannya seminar. Tak adanya cadangan pembangkit daya dan kemampuan daya listrik, diduga juga mengakibatkan temperatur suhu di dalam ruangan juga cukup tinggi. Tak sedikit peserta yang terpaksa menggunakan buku atau media lain sebagai kipas.

"Apalagi dari tadi awal sampai selesainya kegiatan tadi, peserta tidak cukup diberi minum. Tidak ada makanan ringan atau minuman yang disediakan. Hanya coffee break saja tadi. Makanya tadi ada yang sampai belanja ke luar segala," ujar Hendri, salah satu peserta seminar, Senin (11/10). (RADEN ARYO/m)

Berita Terbaru