Aplikasi Pilbup (Pemilihan Bupati) Kab. Membrano Raya Pilkada Serentak 2024

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Berkembang Menjadi Kota Dagang di Abad XVII

  • Oleh Yohanes S Widada
  • 25 Oktober 2016 - 12:59 WIB

Mengingat peran historik Banjarmasin cukup penting di Nusantara, banyak sejarawan Eropa menaruh minat untuk mengkajinya lebih dalam. Sebagai contoh L.C.D. van Dijk, yang  bersumber pada arsip-arsip VOC, telah mengungkapkan pentingnya kerajaan itu dalam hubungan perniagaan dan sekaligus politik dengan maskapai dagang Belanda pada abad XVII dan XVIII (Dijk, 1962: 56-60).

Demikian pula sejarawan Inggris, Willi O. Gais (1922: 21-24), juga telah memusatkan kajiannya pada hubungan perdagangan Banjarmasin dengan maskapai dagang Inggris, East India Company.  Sebuah kajian menarik juga dilakukan oleh Rees (1865-7), yang telah mengungkapkan secara rinci krisis politik yang terjadi di Banjarmasin pada abad XIX setelah mana Kesultanan Banjar harus mengakui kedaulatan Belanda di daerah kekuasaannya.

Sayangnya, meskipun kepangeranan Kotawaringin disebut sebagai penerus dinasti Banjar, perhatian peneliti lebih banyak dicurahkan pada kesultanan Banjar daripada Kotawaringin. Kecenderungan ini tidaklah sukar untuk dimengerti, karena orang tahu bahwa Banjarmasin sejak abad XVI telah memainkan peran penting dalam bidang politik dan ekonomi perdagangan di mana para pedagang mancanegara seperti Belanda, Inggris dan Cina selain pedagang dari daerah lain di Nusantara,  juga datang ke Banjarmasin.

Sebaliknya Kotawaringin tetap saja dikenal sebagai sebuah kerajaan minor yang wacana historisnya masih tetap diselimuti kegelapan. Sebabnya, karena sampai tahun 1990-an belum ada penelitian seksama baik dari disiplin sejarah maupun arkeologi di daerah itu.

Sumber-sumber sejarah yang serba sedikit itu baru lebih lengkap setelah kami melakukan penelitian arkeologi di Kotawaringin Lama antara tahun 1991 dan 1994, yang ternyata situs itu adalah bekas ibukota pertama kerajaan Kotawaringin.

Penelitian telah menemukan bukti-bukti arkeologis yang menunjukkan kekunaan dan sekaligus kompleksitas ibukota, yang antara lain diindikasikan oleh konsentrasi berbagai sisa bangunan kuna seperti keraton, masjid tua, makam-makam raja, serta struktur lainnya. Sementara ragam aktivitas pemukiman telah ditandai oleh deposit pecahan keramik impor terutama berasal dari Cina, Thailand dan Vietnam yang menunjukkan kurun waktu tertua dari abad XIV sampai abad XVII, serta ratusan fragmen wadah tembikar dari berbagai bentuk.

Dengan demikian, baik peninggalan yang bersifat monumental maupun artefaktual, keseluruhannya telah menjadi bukti bahwa sejak abad XVII di Kotawaringin pernah berkembang sebuah masyarakat yang telah teroganisir baik dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya.

Dengan berdasarkan pada sumber sejarah dan data arkeologis itu kita akan mencoba mendapatkan gambaran lebih jelas tentang pemusatan pemukiman yang kemudian meluas menjadi kota besar, yang memicu pertumbuhan dan perluasan pemukiman sejalan dengan pertambahan penduduk, yang tumbuh dan berkembang di tepi-tepi sungai Kotawaringin, Lamandau, Kumai dan Jelai sampai ke anak-anak sungai di bagian hulu. (yoh/*)

Berita Terbaru