Aplikasi Pilbup (Pemilihan Bupati) Kab. Sumenep Pilkada Serentak 2024

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Memperkokoh Strategi Perniagaan Maritim

  • Oleh Yohanes S Widada
  • 10 November 2016 - 15:12 WIB

Oleh Dr Moh Ali Fadillah

PADA tahun 1809 Sultan Imanuddin membangun Keraton Kuning di Pangkalan Bun, kemudian tahun 1811, tempat itu ditentukan sebagai ibukota kerajaan. Terletak di tepi Sungai Arut , sekitar 40 km saja dari teluk Kotawaringin

Sayangnya, tidak satu pun sumber yang memungkinkan kita menjawab masalah perpindahan ibukota. Mari lihat dengan apa yang terjadi di kesultanan Banjarmasin atau Banten, perpindahan ibukota dari Nagara ke Banjarmasin (Ras, 1990: 185) dan dari Banten Girang ke Banten Lama sekitar abad XVI (Guillot, 1994: 31), ditandai oleh perubahan politik: jatuhnya rejim penguasa Hindu dan tumbuhnya kekuasaan Islam di pesisir.

 Motivasi utama berkembangnya kekuasaan estuari adalah untuk mengontrol perniagaan maritim yang terasosiasi kuat dengan ekonomi negara.

Dalam kasus Kotawaringin, perpindahan ibukota bisa jadi sebagai antisipasi positif raja atas kondisi yang sedang berubah. Kenyataan bahwa Pangeran Imanuddin masih tetap di atas tahtanya ketika perubahan politik regional itu terjadi. Titik Kritis kita semestinya diarahkan pada kenyataan bahwa aktivitas perdagangan terkonsentrasi pada muara sungai Arut.

Dengan begitu eksistensi ibukota kedua mendukung ekonomi negeri itu. Ketika ibukota masih berada di Kotawaringin Lama,  kontrol atas lalu-lintas barang dan orang hanya efektif untuk sungai Lamandau. 

Dan hampir tidak mungkin raja dapat mengontrol perniagaan yang datang dari pedalaman  Sungai Arut. Karena barang-barang dagangan bisa sampai ke tempat lain tanpa melewati ibukota. Sesudah Pangkalan Bun menjadi ibukota, otoritas Kotawaringin dapat mengendalikan dua sungai sekaligus: Lamandau dan Arut. 

Dengan begitu, keputusan Imanuddin memindahkan ibukota merupakan langkah strategis dalam kerangka organisasi ruang ekonomi politik Kotawaringin. (*/yoh)

Berita Terbaru