Aplikasi Pilbup (Pemilihan Bupati) Kab. OKU Selatan Pilkada Serentak 2024

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Membangun Dua Pelabuhan: Kumai dan Sukamara

  • Oleh Yohanes S Widada
  • 12 November 2016 - 12:01 WIB

Oleh: Dr Moh Ali Fadillah

BERPINDAHANYA ibu kota Kerajaan ke Bandar Sukabumi  (Pangkalan Bun) merupakan wujud dari strategi maritim  yang dirancang Raja  IX Kesultanan Kotawaringin, Pangeran Ratu Imanuddin.

Dengan berpindah ke Sukabumi, maka bukanhanya bis amengontrol dua Sungai, yakni Sungai Lamandau dan Arut.  Melainkan juga bisa menguasai Sungai Kumai di sebelah timur dan Sungai Jelai di sebelah barat.

 Itu sebabnya harus dibangun pelabuhan di kedua sungai itu. Kumai memang terkenal sebagai sarang bajak laut yang terkonsentrasi di Sei Sekonyer, sedangkan Sukamara selalu berada dalam perselisihan tapal batas dengan kerajaan Matan. Tetapi, pemerintah Batavia mampu merealisasikan keinginan Pangeran Imanuddin untuk membangun kedua pelabuhan itu.

Maka tahun 1826, Kumai secara resmi dibuka sebagai pelabuhan utama Kotawaringin (Paulus, 1917-1940, II: 1083).  Posisi Kumai sebagai pelabuhan estuari segera mempunyai arti positif  bagi Pangkalan Bun yang masih tetap jauh dari muara. 

Jadi pelabuhan Kumai bisa memberi keuntungan bagi kepentingan ekonomi ibukota. Untuk alasan itulah maka Kumai dan Pangkalan Bun dihubungkan dengan jalan darat sejauh 15 km. Sejak pembukaan Kumai, Imanuddin mengangkat Pangeran Said Al-Habsyi (seorang keturunan Arab) menjadi syahbandar.

 Pada tahun 1831, Sukamara menjadi pelabuhan kedua. Karena Sukamara selalu menjadi titik konflik perbatasan dengan kerajaan Matan, maka secara administratif tempat itu dikepalai oleh seorang pejabat politik teritorial, Pangeran Jayaningrat. Kepada Jayaningratlah  seorang syahbandar  bertanggungjawab.

Dengan memiliki dua pelabuhan besar itu, maka Kotawaringin menjadi sebuah kota dagang yang mampu memainkan peran penting di pasar internasional. (*/yoh)

Berita Terbaru