Aplikasi Pilbup (Pemilihan Bupati) Kab. Karang Asem Pilkada Serentak 2024

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Website Opini Populer: Belum Pasti dari Sisi Bisnis

  • Oleh Budi Baskoro
  • 03 Desember 2016 - 07:30 WIB

PUTHUT EA tampaknya sangat sibuk dalam hari-hari terakhir. Pendiri atau ia menyebut dirinya sebagai Kepala Suku Mojok.co/, situs opini populer, ini mengunggah foto dan video rapat demi rapat dan beberapa unit bisnis terkait lainnya yang ia kendalikan, melalui akun Facebook-nya.

Ketika Borneonews meminta wawancara via telepon, Kamis (24/11/2016), ia menawarkan cara lain. "Kalau lewat wasap ini gimana Soalnya, saya mimpin rapat. Tapi masih bisa wasapan. Hanya, ya agak tersendat ya," ujarnya membalas permohonan Borneonews itu.

Dua hari sebelum permintaan wawancara, penulis novel Cinta tak Pernah Tepat Waktu itu, melalui akun Facebook mengunggah pernyataan akan purna bakti dari urusan bisnis-bisnisnya, termasuk di Mojok.co. Apakah situs opini populer yang baru berusia dua tahun ini sudah sampai pada bentuk mapannya

"Sebetulnya tidak hanya di Mojok sih, di semua lini bisnis yang aku terlibat. Insyallah kuat. Karena kan sudah disiapkan sejak delapan bulan lalu," kata Puthut.

Sulit memerkirakan apakah situs sejenis Mojok akan berkembang secara bisnis. Sebab, sepertinya memang tidak ditargetkan untuk mengeruk keuntungan bisnis.

"Saya kira kami harus tahu diri dan tahu batas. Sebab, kalau ditujukan untuk seperti itu, maka membutuhkan banyak hal yang bisa menguras energi, dan itu bisa tidak baik bagi kami," jawab Puthut lagi dalam wawancara lanjutan via Whatsapp/ (WA), pada Jumat (25/11/2016) dini hari.

Unit promosi

Di awal percakapan, penulis ratusan cerpen ini mengatakan secara tersirat, secara bisnis Mojok.co berperan sebagai agen promosi unit bisnis lainnya. "Mojok itu sebetulnya diambil dari 'pengeluaran promosi' perusahaan saya yang bergerak di bidang digital marketing. Jadi, sejak awal memang bukan didesain untuk bisnis (dapat untung)," kata Puthut.

Selain Mojok, Puthut punya unit bisnis penerbitan buku, angkringan. Dan, yang paling menjadi andalah secara finansial, adalah digital marketingnya dengan bendera Gardayamaya.

"Kalau dari segi bisnis yang kena impact-nya, ya Gardamaya. Karena tidak perlu repot-repot bikin portofolio. Kalau mau tender, ya cuma dibilang: kami yang punya dan mengelola Mojok. Biasanya urusan langsung kelar," ungkap Puthut.   

Lalu, kenapa pilihannya dalam bentuk esai opini populer "Karena saya melihat status Facebook teman-teman saya yang sebetulnya jika dibuat lebih sistematis, sangat menarik."

Begitulah, setelah lewat dua tahun, Mojok selalu konsisten memuat satu artikel saban harinya. Pernah suatu ketika, Mojok absen mengunggah postingan. Namun, kata pria kelahiran Rembang, Jawa Tengah, 39 tahun lalu, itu bukannya karena tak ada naskah yang masuk.

"Bukan tidak ada naskah baru, tapi tidak ada naskah bagus. Kami rerata sehari menerima 20 naskah," ungkap Puthut.

Mojok memang menerapkan kurasi dan standar tertentu untuk pemuatan tulisan. Situs ini, yang hanya menerima iklan advertorial dengan gaya mereka yang disebut Mojok Sore, pun menyediakan honorarium bagi penulisnya, Rp250 ribu per artikel.

Hasilnya memang bisa dibuktikan. Kendati hanya satu artikel per hari, peringkat Mojok di Alexa.com berada di kisaran seribu-dua ribu di antara jutaan website di Indonesia. Share dan pembaca artikel yang disajikan Mojok, memang tinggi.       

Lalu, di luar sebagai fungsinya sebagai 'tools' bisnis lain, mungkin situs opini warga bisa berkembang secara mandiri. Apakah ini seiring meningkatnya minat pengguna internet mengakses media selain produk jurnalisme

"Mungkin bisa. Terutama kalau dikelola dengan manajemen yang serius untuk menangani itu. Manajemen kami kan hanya konten," kata dia.*

Meraba Bisnis yang Belum Terjamah

Sisi bisnis media online memang masih sulit diraba polanya. Banyak website-website baru bermunculan, menandakan dunia maya memang menantang untuk dijamah. Tapi, kalangan pemerhati media online pun belum memahami bagaimana agar media online menarik fulus.

Peneliti Digi Journalism Universitas Gadjah Mada (UGM), Gilang Desti Parahita, menyatakan, media online baik sebagai situs berita atau opini, masih tertatih-tatih mencari bentuk model bisnisnya.

"Saya pernah ketemu Pak Mardianto dari Kompas.com. Mereka mendapatkan profit sebetulnya. Tetapi, itu tidak maksimal, sebab banyak hak atas pemasukan itu tidak mereka dapatkan. Justru yang mendapatkan lebih banyak adalah Google, Facebook," kata dia.  

Gilang menilai, banyak situs online yang menawarkan opini warga, dibentuk dengan idealisme. Hal ini karena secara teknis, membuat website tergolong murah. "Jauh lebih murah daripada kita membuat radio komunitas," tuturnya.

Monetisasi baru muncul ketika ternyata kontennya banyak yang membaca. ''Ini bisa dimonetisasi. Saya kurang tahu kalau media-media seperti Mojok, Tirto, itu sebetulnya seperti apa" tukasnya.

Yang jelas, kalau bisa membayar penulis, mereka mendapatkan pemasukan dari websitenya. ''Dan, itu sangat bisa terjadi manakala hits yang mereka capai tinggi, atau mereka menjadi member google ads atau dengan cara-cara lain," jelas Gilang. (Budi Baskoro/*)

Sumber: Borneonews Minggu Edisi 27 November 2016

Berita Terbaru