Aplikasi Pilwali (Pemilihan Walikota) Kota Blitar Pilkada Serentak 2024

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Program Pemakaian Biodiesel Bisa Pacu Harga CPO

  • Oleh Nedelya Ramadhani
  • 29 Desember 2016 - 15:25 WIB

BORNEONEWS, Pangkalan Bun - Meski sebagai produsen minyak sawit terbesar kedua setelah Indonesia, tapi Malaysia diperkirakan dapat mengendalikan harga sawit dunia berkat program penggunaan biodiesel.   

Negeri Jiran itu saat ini memiliki program biodiesel berkode B7 dan B10, meski belum diimplementasikan secara luas. Padahal, jika program tersebut diterapkan secara optimal, akan dibutuhkan minyak sawit mentah (CPO) sebagai bahan campuran pembuatan biodiesel sekitar 350.000 dan 450.000 ton khusus untuk pasar Malaysia.

Salah satu peneliti dari Malaysian Palm Oil Board (MPOB), Dr Harrison Lau Lik Nang, mengatakan program B7 telah menyedot sekitar 350.000 ton minyak sawit selama tahun lalu.

Menurut dia, penerapan program B7 dan B10 secara lebih luas, diperkirakan dapat menyerap CPO sekitar 700.000 hingga 800.000 ton per tahun.

'Kami juga ingin mengurangi ketergantungan pada minyak fosil dan memiliki diversifikasi bahan bakar di Malaysia. Kami juga ingin memanfaatkan sumber daya sawit lokal, sehingga secara tidak langsung mendukung para pemangku kepentingan di industri ini dan industri terkait,' katanya kepada The Malaysian Reserve belum lama ini.

Rencana pemerintah Malaysia untuk memperkenalkan B10 sebagai salah satu untuk meredam kekhawatiran akan kesesuaian kualitas solar (minyak diesel) dalam negeri dengan mesin diesel terbaru dan juga untuk mengatasi tingginya harga diesel berkualitas saat ini.

Malaysia bersama Indonesia selama ini memasok sekitar 75% kebutuhan minyak sawit global. Namun dengan melambannya ekonomi Tiongkok telah menggerus volume ekspor minyak sawit negeri jiran itu ke Tiongkok hingga 50%.

Pemerintah Malaysia berharap implementasi program B7 dan B10 untuk sektor industri dan transportasi dapat mengatasi kendala tersebut dan sekaligus dapat mendongkrak harga CPO. 

Untuk harga CPO mulai membaik dan diperdagangkan di sekitar level RM3.000 dalam beberapa pekan terakhir, tapi kenaikan harga itu lebih banyak disebabkan oleh melemahnya ringgit terhadap dolar AS. Padahal, lemahnya harga CPO dapat mempengaruhi kehidupan ribuan jiwa yang bergantung pada industri sawit. (NEDELYA RAMADHANI/m)

Berita Terbaru