Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Longboat Kuala Pembuang

  • Oleh Tim Borneonews
  • 01 Februari 2017 - 01:00 WIB

KISAH sedih kali ini terdengar dari Kuala Pembuang, Seruyan. Para pelaku usaha sektor angkutan sungai seperti longboat, kini memasuki era kritis. Penumpang menipis, omset terkikis.

Inilah ciri umum daerah yang sedang berubah. Moda transportasi darat yang mulai dominan seiring dengan semakin terbukanya daerah pedalaman, menggeser kebutuhan masyarakat. Angkutan sungai sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan.

Selesainya pembangunan jalan utama yang membuka keterisolasian Pembuang Hulu-Kuala Pembuang, Asam Baru, Bangkal dan sebagainya yang bisa langsung menuju ibukota kabupaten di Pantai Selatan tersebut, secara drastis merubah seluruh pola dan moda transportasi.

Hal demikian bukan monopoli Seruyan. Semua daerah yang semula mengandalkan transportasi sungai, kini mulai mengandalkan jalan poros utama Trans-Kalimantan. Bahkan daerah-daerah terpencil seperti Kotawaringin Lama, Pantai Lunci, mulai mengandalkan transportasi darat untuk menuju Kota Pangkalan Bun. Para pengelola angkutan sungai, seperti speedboat, kelotok, longboat dan lainnya, kini gigit jari. Dan, terpaksa alih profesi.

Perubahan ini merupakan keniscayaan. Merupakan sesuatu yang pasti terjadi. Tidak boleh disesali. Karena hanya dengan begini, keterisolasian, keterbelakangan daerah pedalaman (hinterland) bisa teratasi. Daerah pedalaman bisa tersentuh transportasi dan informasi.

Yang patut diwaspadai adalah, ekses yang terjadi. Jika semula permukiman sepanjang bantaran sungai ramai dan makmur, maka kini sebaliknya. Pusat-pusat pertumbuhan bermunculan di daratan, di pedalaman.

Perubahan memang suatu keniscayaan. Tetapi tidak boleh membiarkan permukiman bantaran sungai kehilangan urat nadi. Semangat bahari tetap harus dijaga, yakni menjadikan pantai dan sungai sebagai garis depan peradaban. Sebagai ujung tombak meraih kemajuan.

Kebijakan pemerintah daerah membangun pusat-pusat kegiatan di tepi sungai, harus diperjelas. Dipertegas. Pengembangan water front city jangan hanya dijadikan slogan-slogan tanpa harapan.

Belajarlah pada kota-kota besar dunia. Mereka justru tumbuh di tepi sungai. Karena itu, kita harus kembali menata kehidupan di tepi sungai. Sekedar contoh, Tokyo, Bangkok, Hongkong, dan berbagai kota besar di Eropa, justru berjaya di tepi sungai.

Jika di Indonesia harga tanah paling mahal di tepi jalan raya, maka di kota-kota besar tadi justru di pinggir sungai. Hotel-hotel bintang empat dan lima, justru berebut lahan di pinggir sungai. Mereka menjadikan water front city dan river view sebagai komoditi. (*)

*). Edisi cetak editorial ini bisa dibaca di Harian Palangka Post

Berita Terbaru