Aplikasi Pilbup (Pemilihan Bupati) Kab. Yalimo Pilkada Serentak 2024

IT Konsultan Terbaik Indonesia

RI-Malaysia Bahas Standar Untuk Permudah Investor Masuk Pogez

  • Oleh Nedelya Ramadhani
  • 03 Februari 2017 - 14:10 WIB

BORNEONEWS, Pangkalan Bun - Indonesia dan Malaysia telah sepakat untuk membangun zona penghiliran minyak kelapa sawit.

Namun, sebelum terealisasi, kedua pihak akan menyiapkan segala hal untuk memudahkan investor masuk ke kawasan itu.

Realisasi Palm Oil Green Economic Zone (Pogez) atau kawasan pengembangan penghiliran minyak kelapa sawit masih dirundingkan oleh Indonesia dan Malaysia terkait standar dan ketentuan yang digunakan untuk investor yang berminat masuk ke kawasan tersebut.

"Kawasan yang akan dikembangkan di Dumai, Provinsi Riau, dan Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, telah memiliki infrastruktur lengkap untuk dapat dikembangkan sebagai kawasan industri kelapa sawit seperti jalan, pelabuhan, dan listrik," kata Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Panggah Susanto, kepada pers di Jakarta, Jumat (3/2/2017).

Untuk biaya produksi, menurut Panggah, lebih efisien karena limbah yang dihasilkan terbilang minim.

"Standar yang diadopsi untuk Pogez sedang kita diskusikan. Jadi intinya, kita sedang mencari persamaan-persamaan dalam mengembangkan investasi hilir dengan Malaysia," papar dia.

Indonesia dan Malaysia yang menguasai 85% pasar CPO global, lanjut Panggah, berkomitmen membangun kawasan penghiliran minyak kelapa sawit yang berkelanjutan.

"Untuk keseluruhan industri agro, investasi tahun ini ditargetkan mencapai Rp150 triliun, termasuk investasi di sisi hilir CPO," ujarnya.

Sedangkan Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, menambahkan kawasan-kawasan khusus yang dikembangkan oleh pemerintah menjadi sasaran yang menggiurkan bagi para pemilik modal. Dunia menuntut ketersediaan CPO dan produk-produk turunan CPO yang produksinya memperhatikan aspek lingkungan.

"Pasti dilirik orang banyak karena pertama, handling cost-nya lebih murah kalau untuk ekspor. Kedua, manajemennya pasti lebih jelas kalau di satu kawasan dan ada kewajiban untuk menghitung emisi gas rumah kaca, kalau industri biasa, tidak ada hitung emisi gas rumah kaca," tutur Sahat. (NEDELYA RAMADHANI/m)

Berita Terbaru