Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Ketua PWI Pusat: Tidak Benar Posisi Wartawan di Titik Nadir

  • Oleh ANTARA
  • 24 Februari 2017 - 01:18 WIB

BORNEONEWS - PWI Pusat gusar ketika Dewan Pers menyebutkan posisi wartawan Indonesia saat ini berada di titik nadir gara-garanya para pencari beritanya belakangan ini selalu bergantung pada media sosial dalam membuat berita.

'Saya tidak setuju kalau posisi wartawan Indonesia dibilang berada di titik nadir. Orang kampung saya, justru ingin sekali seperti saya, mejadi wartawan. Selain karena melihat badan saya sekarang jadi gemuk, jadi wartawan sering kelihatan di TV dan sering jalan-jalan,' kata Ketua PWI Pusat Margiono, Kamis (22/2) siang, di Gedung Dewan Pers, Jakarta.

Tampil sebagai pembicara pada diskusi bertajuk 'Optimalisasi Peran Pers Melalui Litelarisasi Media dalam Menangkal Radikalisme, Separatisme, dan Komunisme' yang digagas oleh Survei Media for Civic Education (SMRC), Margiono secara tegas mengatakan bahwa publik tetap

menanti berita yang disampaikan oleh para wartawan.

'Jadi tidak benar kalau saat ini posisi wartawan berada di titik nadir dan sudah tak dihargai oleh masyarakat,' tandasnya.

Namun, dia mengingatkan kepada para wartawan untuk selalu bertindak profesional dalam menjalankan tugas.

'Wartawan harus bersikaf profesional dan selalu berpedoman pada kode etik jurnalistik saat menjalankan tugas sebagai pencari berita,' tukasnya menambahkan.

Sebelumnya Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, mengatakan kalau saat ini posisi wartawan berada di titik nadir.

'Saat ini, orang tua tidak akan setuju jika anak gadisnya pacaran dengan wartawan. Alasannya, masa depan wartawan suram. Oleh karenanya, Dewan Pers saat ini tengah berupaya menaikkan derajat wartawan,' ucap

Yosep.

Dia melihat hal tersebut dari kasus yang ditangani Dewan Pers, di mana wartawan dalam posisi yang salah, membuat berita dari media sosial tanpa melakukan klarifikasi terhadap sumber berita.

Adalah kasus Ahmad Dhani yang dilansir oleh 17 media massa siap memotong alat kelaminnya, jika Jokowi terpilih jadi presiden.

'Ternyata berita tersebut bersumber dari berita hoax di media sosial. Mereka tidak melakukan klarifikasi pada Ahmad Dhani. Sebagai wartawan, harusnya mereka melakukan klarifikasi, bukan mempercayai media sosial begitu saja,' kata Yosep.

Namun persoalan dapat diselesaikan oleh Dewan Pers setelah ke-17 media tersebut menyampaikan permohonan maaf kepada Ahmad Dhani melalui media masing-masing.

Yosep juga mengatakan, 85 persen wartawan di Tanah Air, membuat berita dari isu yang ada di media sosial.

Sementara itu, untuk menangkal penyebaran konten radikalisme, separatisme, dan radikalisme yang belakangan makin gencar di media sosial, Kepala Komunikasi dan Media Massa Kemenkominfo, Gun Gun Siswadi, menjelaskan bahwa pemerintah telah mengambil berbagai tindakan untuk mencegah konten tersebut sampai ke masyarakat.

'Upaya negara memerangi sparatisme dan radikalisme adalah melalui kebijakan, sosialisasi, edukasi/literasi, optimalisasi aktivitas komunitas,' ujar Gun Gun.

Dia menuturkan, media penyebaran konten radikalisme dilakukan oleh medsos sebanyak 44 persen dan aktivitas di situs radikalisme sebanyak 56 persen. Medsos juga menjadi sarana paling banyak menyebarkan konten separatisme, yakni 32 persen. (RO/B-6)

Berita Terbaru