Aplikasi Pilbup (Pemilihan Bupati) Kab. Ngada Pilkada Serentak 2024

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Bau Untuk Nanga Bulik

  • Oleh Tim Borneonews
  • 24 Februari 2017 - 23:44 WIB

BEBERAPA pekan terakhir, warga Kota Nanga Bulik, Ibukota Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah tak nyaman. Ada bau menyengat yang tak lazim, yang mengganggu pernafasan mereka.

Meski tak lazim terhirup di tengah kota, tetapi sebagian warga cukup mengenalnya. Mereka mengenalnya sebagai bau limbah pabrik kelapa sawit. Dan, wargapun segera menuding dua pabrik pengolahan kelapa sawit yang beroperasi di pinggir kota itu sebagai biang keladinya.

Para wakil rakyat yang duduk di DPRD setempat segera bersikap. Tim investigasi pun dibentuk. Dan, tak terlalu susah melacak asal-usul bau tak sedap itu. Wakil rakyat itu dengan mudah menemukan tumpukan limbah berserakan di lahan terbuka di sekitar pabrik. Dua penanggungjawab pabrikpun mengakui kelalaian apa adanya.

Bupati Marukan pun tak mau kalah cepat. Kedua pimpinan pabrik itu dipanggilnya, dan diperintahkannya untuk mencari solusi. Singkat cerita, pengelola pabrik diberi waktu tiga bulan untuk membebaskan warga Nanga Bulik dari segala macam bau.

Sebagaimana pernah ramai diberitakan, dua pabrik tersebut dibanggakan sebagai solusi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berbagai jalan pintaspun diterobos. Berbagai regulasi dicoba dicari celahnya. Berbagai larangan dicarikan alasan dan pembenaran.

Dan, akhirnya berdirilah kedua pabrik itu. Beroperasilah dua pabrik itu.

Tetapi, belum dua bulan berjalan, persoalan segera menghadang. Pabrik ini ternyata tidak memiliki sarana pengolahan limbah. Paparannya diderita warga di sana.

Kejadian ini tentu saja ada hikmahnya. Dampak dan berbagai persoalan sejatinya sudah tergambar dari awal. Ketika sebuah sistem dan prosedur tetap (protap) tidak ditempuh dengan baik, ketika regulasi tidak ketat ditaati, maka berbagai persoalan pasti menyusul.

Regulasi pertama yang diterabas adalah, kedua pabrik ini tidak punya kebun kelapa sawit yang dipersyaratkan. Maka persoalan yang menghadang pertama kali terjadi adalah, pabrik ini tidak memiliki tempat untuk membuang limbah jangkos. Yaitu limbah yang biasa secara langsung dipakai untuk memupuk tanaman di kebun.

Ke depan, pengelola kebun harus lebih antisipatif atas berbagai hal yang bakal muncul. Ke depan, pemerintah juga harus waspada terhadap berbagai gejolak yang mungkin timbul.

Kita sepakat, peningkatan kesejahteraan harus menjadi tujuan utama. Tetapi secara bersamaan kita juga sependapat, keberlangsungan hidup dalam sebuah ekosistem (sustain) yang sehat dan lestari, juga menjadi acuan dan rel yang utama.

Pengelolaan perkebunan dan industri perkelapasawitan tidak oleh sembarangan. Berbagai standar yang ditentukan untuk menjaga kesehatan dan kelestarian ekosistem bersama (sustainability ) harus dipenuhi. Standar RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil ) dan ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) tak bisa dihindari.

Jangankan institusi setingkat korporasi yang mengelola kebun dan pabrik. Kelak, para petani individual saja harus memenuhi standardisasi dan sertifikasi RSPO maupun ISPO.

*) Edisi cetak editorial ini bisa dibaca di Harian Palangka Post.

Berita Terbaru