Aplikasi Pilbup (Pemilihan Bupati) Kab. Bungo Pilkada Serentak 2024

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Kemenlu RI: Resolusi Sawit Eropa Diskriminatif

  • Oleh Nedelya Ramadhani
  • 11 April 2017 - 15:06 WIB

BORNEONEWS, Pangkalan Bun - Tak hanya Malaysia yang bersikap keras terhadap resolusi soal minyak sawit oleh Parlemen Eropa, Indonesia juga menyampaikan sikap yang tak kalah tegas.

Sikap tegas Indonesia itu tergambar dalam pernyataan Kementerian Luar Negeri RI melalui laman kemlu.go.id, yang menyebut resolusi Parlemen Eropa yang disahkan di Strasbourg pada 4 April 2017 lalu itu sebagai tindakan diskriminatif terhadap minyak kelapa sawit, dan justru bertentangan dengan posisi Uni Eropa sebagai champion of open, rules based free, and fair trade.

Selain itu, kata Kemlu RI, resolusi Parlemen Eropa juga menggunakan data dan informasi yang tidak akurat dan akuntabel terkait perkembangan minyak kelapa sawit dan manajemen kehutanan di negara'negara produsen minyak sawit, seperti Indonesia dan Malaysia.

Menurut Kemlu RI, minyak sawit bukanlah penyebab utama deforestasi. Berdasarkan kajian Komisi Eropa pada 2013, dari total 239 juta ha lahan yang mengalami deforestasi secara global dalam kurun waktu 20 tahun, 58 juta ha terdeforestasi akibat sektor peternakan (livestock grazing), 13 juta ha dari kedelai, 8 juta ha dari jagung, dan 6 juta ha dari minyak sawit. Itu artinya, minyak sawit dunia hanya berkontribusi kurang lebih sebesar 2,5% terhadap deforestasi global.

Sebaliknya, kata kemlu RI, minyak sawit justru menjadi bagian dari solusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan berkontribusi positif pada peningkatan permintaan global biofuel sebagai pengganti bahan bakar fosil.

Kemlu RI menilai skema sertifikasi tunggal yang diusulkan dalam resolusi Parlemen Eropa berpotensi meningkatkan ketidakpastian hambatan perdagangan dan kontraproduktif terhadap upaya peningkatan kualitas minyak sawit berkelanjutan. Apalagi Indonesia sudah memiliki standar sertifikasi bernama Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), yang bersifat mandatoris dengan fokus pada perlindungan dan pengeloaan lingkungan.

Selain itu, resolusi Parlemen Eropa itu juga telah mengabaikan hak hidup petani plasma sawit yang mencapai sekitar 16 juta orang, dan sekitar 41% produksi minyak sawit justru dihasilkan oleh petani skala kecil tersebut.

Sementara itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) menyatakan resolusi parlemen Eropa soal sawit dipicu oleh motif persaingan bisnis antara minyak nabati yang diproduksi Eropa dan minyak kelapa sawit Indonesia.

"Eropa jelas masih membutuhkan sawit dari Indonesia. Namun kebijakan resolusi tersebut akan memberi sentimen negatif, meski belum ada pengaruh untuk sementara pada ekspor produk sawit Indonesia ke Eropa," kata Direktur Eksekutif GAPKI, Fadhil Hasan, kepada pers di Jakarta, Selasa (11/4/2017).

Dalam satu tahun, menurut Fadhil, Indonesia mengekspor 25 juta ton minyak sawit mentah (CPO) ke Eropa dengan total produksi dalam setahun mencapai 34 juta ton.

"Resolusi ini pasti menjadi pertimbangan di setiap kebijakan eksekutif Eropa," papar dia. (NEDELYA RAMADHANI/m)

Berita Terbaru