Aplikasi Pilbup (Pemilihan Bupati) Kab. Teluk Bintuni Pilkada Serentak 2024

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Tuak dan Keseharian Suku Dayak (6)

  • Oleh Wahyu Wulandari
  • 06 Mei 2017 - 10:17 WIB

BORNEONEWS, Pangkalan Bun - Saat prosesi ikat tongang berlangsung, setiap tamu yang telah diikatkan tongang pada tangan kanannya dipersilakan meminum tuak.

Demang adat Riam Panahan Solen Singkal Saing yang saat itu mengikatkan tongang ke tangan kanan saya, menyodorkan saya seperempat gelas tuak berwarna putih seperti susu kedelai. Saya berusaha menolak dengan sopan.

"Mohon maaf Bapak, apakah saya boleh tidak meminum tuaknya" tanya saya.

"Kada papa kalau tidak biasa minum, kami tidak pernah memaksa,' ujarnya dengan logat Kotawaringin.

Kemudian ia meminta saya hanya mencelupkan jari saya ke dalam tuak sebagai syarat. Sungguh di luar dugaan bahwa mereka tidak memaksa saya untuk meminum tuak tersebut. Suku Dayak memang benar-benar ramah dan menghormati tamu. "Bagi kami suku Dayak, menjamu tamu dengan tuak adalah cara kami menghargai tamu,' jelasnya.

Penasaran, saya mulai mencium tuak yang dihidangkan. Wanginya seperti air perasan tapai ketan, tetapi sedikit lebih menyengat. Tentulah karena kandungan alkoholnya lebih banyak, dan waktu fermentasi yang lebih lama.

Saya pun bertanya kepada salah seorang peserta trial trip yang juga bersuku Dayak dan merupakan warga Dayak Kinipan. Kasmawati namanya. Benar dugaan saya, tuak ini dibuat dari ketan.

"Ketan dikukus kemudian ditambahkan ragi dan difermentasi selama beberapa hari. Setelah itu airnya diperas,' jelas Kasma.

Persis seperti pembuatan tapai ketan, hanya saja dalam proses pembuatan tuak, ketan tidak ditambahkan pewarna, dan waktu fermentasi yang lebih lama.

"Kalau kami di sini, untuk membuat satu botol tuak bisa habis tiga kilogram ketan,' tambah seorang warga yang tidak saya ketahui namanya.

Tiga kilogram ketan untuk satu botol tuak! Itu cukup menjelaskan rasa agak perih dibibir saat mencicipinya pada ritual Baigal. (WAHYU WULANDARI/m)

Berita Terbaru