Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Soal Sertifikasi Sawit, Malaysia-Indonesia Harus 'Nekat'

  • Oleh Nedelya Ramadhani
  • 22 Mei 2017 - 11:40 WIB

BORNEONEWS, Pangkalan Bun - Seluruh perkebunan sawit di Malaysia akan mendapatkan sertifikasi berkelanjutan dalam tiga tahun ke depan. Apakah itu hanya sebatas retorika

Sebagian pengamat memang meragukan target itu dapat tercapai. Pasalnya, saat ini baru 4% dari sekitar 5,7 juta hektare lahan sawit di negeri jiran itu yang sudah tersertifikasi.

Tapi Menteri Industri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Datuk Seri Mah Siew Keong menegaskan bahwa pihaknya akan berusaha keras untuk memenuhi target tersebut meski biaya yang dibutuhkan tentu tak sedikit.

'Pemerintah Malaysia berniat untuk menerbitkan lebih banyak sertifikasi untuk perkebunan sawit skala besar berdasarkan skema Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO)pada tahun depan dan perkebunan skala kecil pada 2019," kata Mah, seperti dikutip The Star akhir pekan lalu.

'Ini merupakan komitmen kami untuk menghasilkan minyak sawit berkelanjutan," ucapnya seraya menambahkan bahwa meski biaya yang diperlukan besar, tapi ini adalah investasi jangka panjang.

Langkah Malaysia tersebut juga sebagai respons atas resolusi sawit yang disahkan Parlemen Eropa bulan lalu untuk memperkenalkan skema sertifikasi tunggal bagi produk sawit yang masuk ke pasar Uni Eropa dan menghentikan pemakaian minyak nabati yang memicu deforestasi pada 2020.

Sementara itu, Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia telah memiliki sertifikasi bernama Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO). Sertifikasi ini adalah suatu kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Pertanian dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia dan ikut berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen Presiden Republik Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca serta memberi perhatian terhadap masalah lingkungan.

ISPO dibentuk pada 2009 oleh Pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa semua pihak pengusaha kelapa sawit memenuhi standar pertanian yang diizinkan. ISPO merupakan standar nasional minyak sawit pertama bagi suatu negara, dan negara lain kini mencoba mempertimbangkan untuk mengimplementasikan standar serupa di antara produsen minyak sawit.

Meski demikian, ISPO dikritik karena tidak melibatkan LSM dan auditor independen. Dapat dikatakan ISPO lebih baik dibandingkan RSPO karena bersifat mengikat bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia, sedangkan RSPO bersifat sukarela. Meski telah bersifat wajib dan Pemerintah Indonesia menargetkan 100% perusahaan bersertifikat sebelum 2014 berakhir, namun perusahaan perkebunan sawit pemegang sertifikat ISPO hingga April 2014, baru mencapai 40 perusahaan dari total 1.500 perusahaan.

Dari situ terlihat bahwa baik Pemerintah Malaysia maupun Indonesia sama-sama dihadapkan pada suatu kondisi yang sama-sama berat seiring dengan masih kecilnya angka keterlibatan perusahaan dalam mendapatkan sertifikasi. Hanya saja, target tersebut harus segera dicapai jika tak ingin komoditas andalan ini kesulitan menembus pasar Uni Eropa dan Amerika Serikat yang dikenal ketat regulasinya. (NEDELYA RAMADHANI/m)

Berita Terbaru