Aplikasi Pilbup (Pemilihan Bupati) Kab. Konawe Utara Pilkada Serentak 2024

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Menimbang Perpindahan Ibu Kota Negara

  • Oleh Penulis Opini
  • 14 Juni 2017 - 12:16 WIB

BORNEONEWS - Usulan perpidahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke beberapa provinsi lain telah dibahas sejak masa kolonial hingga berlanjut pada awal era kepemimpinan Presiden Soekarno. Sejarah mencatat bahwa di awal abad ke-20, ditemukan upaya pemerintah Hindia Belanda mengubah lokasi ibu kota negara yang semula Batavia (atau saat ini dikenal dengan Jakarta) ke Bandung. Namun demikan, hal tersebut gagal lantaran adanya pengaruh depresi besar dan Perang Dunia ke-II.

Pemindahan ibu kota negara menjadi sebuah isu yang menarik untuk dibahas. Hal ini dikarenakan sejalan dengan beberapa permasalahan yang kian membesar di DKI Jakarta. Seperti landasan filosopis karena keamanan dan keadilan, dan landasan sosiologis yang diukur melalui situasi masyarakat.

Banyak kalangan menilai bila wacana itu terealisasi akan berdampak terhadap perubahan sistem kenegaraan yang cenderung bersifat serikat. Diprediksi ada beberapa masalah yang muncul bila wacana perpindahan ibu kota terealisasi, seperti infrastruktur dan model pengaturan nantinya, begitu pula perubahan tatanan yang sangat luar biasa.

Di sisi lain, wacana perpindahan ibu kota negara Indonesia cenderung dapat dijadikan sebagai komoditas politik dalam mendulang suara, khususnya pada pilkada 2018, pileg dan pilpres 2019. Pasalnya, isu perpindahan ibu kota negara hingga saat ini belum mendapatkan respons dan kajian yang serius dari pemerintahan pusat.

Belajar dari Negara Lain

Wacana pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Palangka Raya terus menyeruak. Bahkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), tengah serius dalam mengkaji rencana tersebut. Namun demikian diperlukan pertimbangan yang matang dan pembelajaran dari pengalaman beberapa negara lain, yang secara keseluruhan kebijakan pemindahan ibu kota berakhir manis.

Pelajaran dari Nigeria. Dahulunya, ibu kota Nigeria terletak di Lagos. Namun, pada 1991 pemerintah negara dengan ekonomi terbesar di Afrika itu memutuskan memindahkan pusat pemerintahannya ke Abuja. Posisi Abuja cukup jauh dari Lagos. Jaraknya sekitar 482 kilometer dari arah timur laut. Pemindahan ini relatif berbuah manis. Permasalahan yang menimpa Nigeria seperti kepadatan penduduk yang hanya terjadi di Lagos serta pemerataan ekonomi satu per satu mulai bisa diselesaikan.

Pelajaran dari Myanmar atau Burma. Pemindahan ibu kota Myanmar, dari Yangoon ke Naypyidaw disebut-sebut sebagai peristiwa paling unik dalam sejarah. Keputusan yang diambil pada November 2005 ini didasari keputusan pemimpin junta militer Jenderal Than Shwe. Tidak ada penjelasan sama sekali mengapa ibu kota harus pindah. Banyak yang menuduh perpindahan itu adalah gagasan egois Jenderal Than Shwe. Dugaan yang paling nyeleneh dan dinilai tidak masuk logika, pemindahan dikarenakan ramalan dari dunia mistik yang membuat Than ketakutan.

Ramalan itu menyebutkan bahwa kekuasaan sang Jenderal tinggal sejengkal. Bintangnya segera meredup dan nyaris padam pada April 2006. Saat pertama kali ibu kota dipindahkan, para pegawai negeri dan militer Myanmar, bak tinggal di pengungsian. Menetap di bangunan yang belum rampung, tanpa air bersih dan listrik seperti di Kota Yangoon. Hidup serba susah, kurang gizi, di tengah hutan pula, membuat mereka jadi sasaran empuk serdadu hutan Myanmar yang amat berbahaya, yakni nyamuk malaria.

Banyak yang menyerah, tapi tidak kuasa kabur dari kota itu. Seperti dikutip dari Guardian, situasi pada 2016 lalu tidak banyak berubah. Naypyidaw mempunyai fasilitas relatif lengkap, jalan tol lebar, tempat main golf, kebun binatang yang dilengkapi AC untuk para penguin, akses wifi cepat, dan aliran listrik yang lancar tanpa byarpet.

Yang tidak dipunyai kota itu hanya satu, penduduk yang dinamis. Dengan luas 4.800 km persegi atau empat kali ukuran Kota New York, Naypyidaw relatif kosong. Data resmi menyebut, penduduk di sana mencapai 1 juta jiwa, namun diragukan karena jalanan sunyi, restoran dan lobi hotel nyaris kosong.

Pelajaran dari Brazil. Pada 1960, Presiden Brasil saat itu, Juscelino Kubitschek, membuat keputuan besar. Ibu kota dipindah dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Alasan utama pemindahan itu untuk mengembangkan wilayah perdesaan yang terbelakang, menstimulasi pembangunan pertanian, penyebaran penduduk, dan pendapatan. Pada masa awal, pemerintah begitu susah memindahkan organ-organ pemerintahan. Tahun 2010 lalu, Brasilia memperingati 50 tahun sejarahnya menjadi ibu kota. Meski memiliki sejumlah bangunan yang spektakuler yang mendapat pengakuan UNESCO sejak dinobatkan sebagai pusat pemerintahan, Brasilia bagai kota 'tanpa jiwa'.

Pelajaran dari Tanzania. Negara yang terletak di Afrika ini ibu kotanya sempat berlokasi di Dodoma. Walau kota utama, nyatanya kehidupan di Dodoma jalan di tempat tidak ada perkembangan berarti yang terjadi. Yang riuh dan meriah justru Kota Dar es Salaam. Kota tersebut jaraknya 450 kilometer dari Dodoma. Keputusan pemindahan akhirnya diambil pada era 1970-an. Tapi sampai sekarang, transisi masih belum sepenuhnya dilakukan. Majelis Nasional Tanzania tetap berada di Dodoma. Sementara itu, seluruh kedutaan asing dan kantor pemerintah telah berada di Dar es Salaam.

Pelajaran dari Kazakhstan. Kazakhstan merupakan salah satu negara yang muda di dunia. Ia berdiri setelah Uni Soviet runtuh pada awal 1990-an. Awalnya, ibu kota Kazakhstan adalah Almaty. Namun, Desember 1997, mereka memidahnya ke bagian utara negara tersebut, tepatnya di Kota Astana. Alasan yang diambil pemerintah adalah Almaty sudah tidak bisa dikembangkan lagi. Kota ini juga rentan terhadap gempa. Selain itu, dasar lain yang jadi pertimbangan, Almaty letaknya sangat dekat dengan negara baru pecahan Uni Soviet lain. Ditakutkan bila ada turbulensi politik di negara-negara tersebut, maka bisa menular ke dalam Kazakhtsan. Keputusan tersebut ternyata tepat. Sampai sekarang Kazakhstan merupakan negara sangat berkembang dan salah satu pusat ekonomi terbesar di kawasan Asia Tengah.

Pelajaran dari Malaysia. Tidak bisa dipungkiri, sama seperti ibu kota negara di Asia Tenggara lain, Kuala Lumpur harus berhadapan dengan masalah kemacetan dan kepadatan penduduk. Pada 1999, pemerintah Malaysia mengambil keputusan memindahkan pusat pemerintahan ke Putrajaya. Putrajaya merupakan sebuah kota baru dan mandiri. Letaknya berada di Selatan Kuala Lumpur dan tidak jauh dari sana.

Kantor Perdana Menteri dipindahkan ke Putrajaya. Namun, tidak demikian dengan Gedung Parlemen dan pusat perekonomian tetap berada di Kuala Lumpur.

Bagaimana dengan Jakarta

Tidak sedikit kalangan akademisi yang menyebutkan perpindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta selaku miniatur Indonesia akan membuat hilangnya jati diri Jakarta. Bila sebuah pembangunan infrastruktur berjalan dengan baik dan terjadi koneksi antarwilayah di Indonesia, pemindahan ibu kota tidak perlu dilakukan. Karena pertumbuhan ekonomi yang membaik di daerah akan membuat orang enggan tinggal di Jakarta, sehingga Jakarta dapat lebih 'hidup sehat dan segar'.

Pemindahan ibu kota haruslah dilihat ada tidak perspektif ancaman terhadap ibu kota tersebut. Sebaiknya, pemindahan ibu kota dengan tujuan yang positif seperti untuk mengembangkan wilayah perdesaan yang terbelakang, menstimulasi pembangunan pertanian, penyebaran penduduk dan pendapatan, termasuk mengantisipasi tantangan dan ancaman masa depan. Indonesia dengan Jakartanya masih dapat mengatasi berbagai persoalan tersebut. Jadi jangan buru-buru dipindahkan.

Penulis: Vamiga Andrew, Mahasiswa Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

Berita Terbaru