Aplikasi Pilbup (Pemilihan Bupati) Kab. Merauke Pilkada Serentak 2024

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Ekspor Minyak Sawit RI Januari-Mei Capai 12,10 Juta Ton

  • Oleh Nedelya Ramadhani
  • 19 Juli 2017 - 11:20 WIB

BORNEONEWS, Pangkalan Bun - Ekspor minyak sawit nasional sepanjang Januari hingga Mei 2017 mencapai 12,10 juta ton, atau naik 29% dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 9,35 juta ton.

"Kenaikan ekspor tersebut menunjukkan bahwa pasar ekspor Indonesia tetap tumbuh meskipun berbagai kampanye hitam terus membayangi industri sawit," kata Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Fadhil Hasan kepada pers di Jakarta, Selasa (18/7).

Jelang Ramadan, menurut Fadhil, biasanya permintaan minyak sawit meningkat karena konsumsi bertambah selama Ramadan dan Lebaran. Namun, tahun ini fenomena itu berubah, ekspor minyak sawit Indonesia pada Mei hanya terkerek 2%, yakni dari 2,56 juta ton pada April menjadi 2,62 juta ton pada Mei.

"Untuk periode Januari hingga Mei 2017, kinerja ekspor masih bisa tumbuh 29% dari periode yang sama tahun lalu," papar dia.

Selama Mei 2017, secara tidak terduga beberapa negara dengan mayoritas penduduk muslim menurunkan permintaan minyak sawitnya. Penurunan yang sangat signifikan dicatatkan Pakistan sebesar 31% dari bulan sebelumnya, yakni dari 207.210 ton pada April turun menjadi 142.210 ton pada Mei.

Hal itu karena pangsa pasar Indonesia telah direbut oleh Malaysia dengan harga yang lebih kompetitif akibat tidak adanya pajak untuk produk turunan minyak sawit. Ekspor Malaysia ke Pakistan naik lebih dari dua kali lipat pada Mei, dari bulan-bulan sebelumnya hanya 500.000 ton hingga 550.000 ton pada Mei menjadi di atas 1 juta ton.

Pada Mei, Malaysia memberlakukan pajak ekspor 7% dengan harga referensi RM3.008,09 atau setara US$49 per metrik ton (MT) dan tidak ada pengenaan pajak ekspor untuk produk turunan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).

Sementara Indonesia memberlakukan pajak 0% tetapi tetap memungut CPO Fund sebesar US$50 untuk CPO dan US$20 hingga US$30 untuk produk turunannya.

Sementara produk yang diekspor Indonesia ke Pakistan sekitar 95% berupa produk turunan CPO. Faktor yang juga turut andil adalah Malaysia sangat gencar dalam lobi untuk meningkatkan perdagangan dengan pembahasan review atas Free Trade Agreement (FTA) antara Malaysia dan Pakistan yang mana banyak peluang investasi dan tarif rendah yang ditawarkan Malaysia.

Penurunan permintaan juga diikuti negara-negara Timur tengah yang membukukan penurunan 23%. Tiongkok dan negara-negara Uni Eropa (UE) juga membukukan penurunan permintaan minyak sawitnya masing-masing 7% dan 2%.

Tren penurunan permintaan dari Pakistan, negara-negara Timur Tengah, dan Tiongkok tersebut, terjadi karena pada bulan sebelumnya negara-negara itu telah menyetok persediaan dengan memanfaatkan kesempatan, yakni membeli dalam jumlah besar saat harga sedang rendah.

Sebaliknya, Amerika Serikat (AS) menaikkan permintaan minyak sawitnya secara signifikan pada Mei ini. Negeri Paman Sam itu mencatatkan kenaikan permintaan 43% dari bulan sebelumnya,yakni dari 83.700 ton pada April menjadi 119.950 ton.

Hal ini sangat mengejutkan di saat AS sedang dengan gencar menuduh Indonesia melakukan dumping biodiesel. Sebagian dari minyak sawit yang diimpor AS digunakan untuk biodiesel.

Sejak diberlakukan pelarangan penggunan lemak trans (trans fat) pada produk makanan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan AS di pertengahan 2015, permintaan minyak sawit AS terus meningkat karena minyak sawit tidak mengandung lemak trans sehingga menjadi pilihan utama sebagai pengganti.

Di samping itu, harga minyak sawit juga lebih murah dari minyak nabati lainnya. Kenaikan permintaan juga dicatatkan Bangladesh sebesar 29% atau dari 124.950 ton pada April menjadi 163.270 ton.

Kenaikan permintaan karena konsumsi yang diperkirakan meningkat selama Ramadan. Hal yang sama diikuti oleh India yang membukukan kenaikan permintaan sebesar 12%. (NEDELYA RAMADHANI/m)

Berita Terbaru