Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Polisi Anomali

  • Oleh Nazir Amin
  • 19 Agustus 2017 - 14:26 WIB

POLISI yang menghajar anggota Satpol PP Kotawaringin Barat menjelang perayaan HUT ke-72 Proklamasi Kemerdekaan RI, Kamis (17/8/2017) pagi, pastilah hanya pengecualian. Begitu juga, yang tega-teganya menghajar anak sekolah di Kecamatan Kumai, beberapa waktu lalu. Keduanya hanyalah bagian kecil dari sebagian besar anggota Korps Bhayangkara yang tetap baik hati, dan tidak sombong.

Mereka bukanlah gambaran polisi ideal, seperti terpampang dalam slogan di setiap kantor lembaga yang dipimpin Kapolri Jenderal Tito Karnavian: 'Polisi Pengayom Masyarakat', atau 'Kami Siap Melayani Anda'. Keduanya, atau beberapa polisi pemberang lainnya di luar Kobar, sekali lagi hanya pengecualian. Mereka itu, bukan mainstream polisi kita. Mereka anomali.

Ibarat dalam rumah tangga, mereka hanya anak-anak nakal, dan karenanya masih perlu pembinaan. Mereka bandel, sehingga harus dijewer, disentil, agar tak lagi mengulangi perbuatannya. Orang tua harus bekerja lebih keras lagi untuk mendidik anak-anaknya, agar tak lagi nakal. Bagaimanapun perilaku anak-anak di luar rumah, bak gambaran didikan orang-tuanya.

Karena itu, atasan langsung harus segera bertindak, dan segera menjamin tak ada lagi polisi arogan. Tidak boleh lagi ada aparat keamanan, polisi (juga militer) yang ringan tangan sama rakyat, apapun alasannya. Apalagi, sekedar tersinggung karena pertanyaannya tak dijawab dengan benar, atau karena anak kesayangannya dijahilin. Polisi itu kan pengayom masyarakat

Jaminan itu perlu, perlu sekali malah. Karena perilaku anak buah dengan mudah berimbas pada citra komandan. Bukankah ada pameo; "tidak ada anak buah yang salah, yang salah adalah komandan."

Itu bagian dari beratnya tugas, dan fungsi pimpinan. Karena tidak mudah itulah, pimpinan selalu bergaji paling tinggi, dengan fasilitas terbaik. Karena, tanggung jawabnya lebih besar, termasuk menanggung kesalahan, dan akibat dari arogansi anak buahnya.

Berat sekali

Menjadi polisi (dan tentu militer), pastilah berat. Bukan semata, karena tugas, dan tanggung jawabnya di lapangan. Bukan karena risiko yang harus dihadapinya di medan tugas, sehari-hari. Bukan, bukan itu.

Menjadi 'pengayom masyarakat' itu, jelas tidak gampang. Dari arti katanya, pengayom; 'orang (polisi) yang melindungi masyarakat'. Bayangkan, mereka adalah orang-orang yang terpilih melalui seleksi ketat dan pasti mahal (karena negara perlu menyediakan infrastrukturnya), lalu dididik dalam sebuah kawah candradimuka, sampai akhirnya dinyatakan lulus.

Karena tak mudah menjadi polisi, tentu saja jumlahnya tak banyak, terutama dibanding dengan data penduduk Indonesia. Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumulo, Kamis (1/9/2016) menginformasikan, jumlah penduduk Indonesia per 30 Juni 2016 adalah 257.912.349 jiwa. Jumlah wajib KTP per 31 Desember 2015 yakni 182.588.494 jiwa.

Dengan jumlah penduduk sebanyak itu, Asisten Kapolri Bidang Sumber Daya Manusia, Irjen Arief Sulistyanto, di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Selasa (21/2/2017), mengatakan, idealnya jumlah polisi dibandingkan masyarakat, 1:350. Namun, saat ini sekitar 1:750, atau bahkan lebih. Itu pun di setiap satuan wilayah besarannya tidak merata.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian, di Nusa Dua Bali, Kamis (15/9/2016), menyebutkan, jumlah anggotanya sebanyak 430 ribu personel. Meski itu terbesar nomor dua di dunia, setelah Tiongkok, tetapi jumlahnya belum ideal, jika dilihat dari besarnya warga Indonesia, yang termasuk nomor empat terbesar di dunia.

Sebagai yang terpilih, jelaslah polisi, dan aparat keamanan lainnya (juga militer), bukan orang-orang biasa. Mereka telah melewati pelatihan fisik dan mental, sampai dinyatakan lolos, pastilah kualifikasinya di atas rata-rata manusia lainnya. Pastinya, mereka sudah teruji lahir dan batin.

Dan kita tahu, tuntutan terhadap manusia terpilih itu juga berat, dan besar. Mereka harus trengginas di lapangan, piawai menaklukkan para penjahat, dan musuh, di saat yang sama harus gagah perwira membela masyarakat. Mereka tidak boleh ringan tangan terhadap masyarakat, sekali lagi, apapun alasannya.

Benar, polisi juga manusia, yang punya hati, dan perasaan. Tetapi, karena sudah menjadi yang terpilih, seperti juga militer, jangan mudah tersinggung terhadap tingkah warga, betapapun tengilnya. Karena sudah menganiaya, memukul fisik, kita tak lagi melihat peristiwa yang mendasarinya.

Susah kita mencerna ada polisi yang tersinggung sampai menghajar orang. Hati ini tak rela mengetahui ada polisi yang tega memukul murid SD, sampai giginya goyang, setelah anaknya mengadu dipukul. Akal sehat kita tak dapat menerima ada anggota militer memukul warga, setelah ada masalah di jalan.

Toh, ada polisi yang bisa sabar melayani kemarahan anggota Korem Pekanbaru, yang belakangan dikonfirmasi mengalami gangguan kejiwaan. Jauh sebelum itu, ada polisi di Jakarta, yang seperti pasrah saja saat 'diamuk' ibu-ibu, yang ternyata pegawai Mahkamah Agung.

Irjen Umar

Banyak contoh polisi, juga anggota militer yang baik. Jadi, senyum-senyum saja kalau mendengar orang berguyon tentang hanya ada tiga polisi baik, seperti juga dengan gaya satire pernah diceritakan Gus Dur; patung polisi, polisi tidur, dan mantan Kapolri Jenderal Hoegeng yang meleganda itu.

Yang tergolong masih hangat, kisah Irjen Umar Septono, Kakor Sabhara Baharkam Polri. Rabu (21/6/2017), saat memantau arus mudik, mobil dinasnya yang terjebak kemacetan di jalur Tol Cipali KM 120, pukul 13.20 WIB, ditabrak oleh Sumali, warga Bogor.

Mantan Kapolda Nusa Tenggara Barat itu, tak marah. Beberapa hari kemudian, jauh-jauh ia mendatangi rumah penabraknya di Perumahan Pura Bojonggede, Tajur Halang, Bogor, Jawa Barat, di pinggiran perbatasan DKI Jakarta. Sejak itu, mereka malah tambah akrab. Malah, masing-masing anak gadis mereka ikut bersahabat, karena kesamaan hobi.

Ada juga polisi yang menjadi pemulung di sela libur dinasnya. Sang Abdi Bhayangkara ini memilih mengumpulkan barang-barang bekas, seperti para pemulung umumnya, dan menjualnya untuk tambahan uang belanja, dan membiaya sekolah anak-anaknya.

Dan masih banyak lagi cerita tentang polisi baik lainnya. Karena itu, jangan ada lagi polisi anomali, yang bisa merusak citra baik sebagian besar anggota Korps Bhayangkara. Jangan ada lagi aparat yang mencoreng citra dan wibawa kesatuannya. Jangan sampai ada lagi nila setitik yang merusak susu sebelanga. (NAZIR AMIN/Wartawan Borneonews).

Berita Terbaru