Aplikasi Pilbup (Pemilihan Bupati) Kab. Pangkajene Kepulauan Pilkada Serentak 2024

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Keberadaan Perkebunan Sawit dan Dampaknya terhadap Lingkungan Jadi Pertanyaan Dominan dalam CBI Goes to School

  • Oleh Wahyu Krida
  • 07 Agustus 2018 - 10:06 WIB

BORNEONEWS, Pangkalan Bun - Dalam kegiatan Citra Borneo Indah (CBI) Group Goes to School yang dilaksanakan di sejumlah sekolah setingkat SMA di Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), sesi tanya jawab merupakan bagian yang paling meriah.

Pasalnya selain mendapatkan doorprize, siswa yang bertanya juga mendapatkan pencerahan terhadap hal yang selama ini membuat dirinya penasaran.

Salah satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan para siswa adalah sejauh mana keberadaan perusahaan perkebunan sawit bermanfaat bagi masyarakat dan apa dampaknya terhadap lingkungan.

Pasalnya gencarnya kampanye hitam dilancarkan oleh banyak negara khususnya yang tergabung dalam Uni Eropa yang mengatakan bahwa keberadaan sawit merusak lingkungan.

Terkait pertanyaan tersebut, dalam gelaran CBI Group Goes to School, CEO CBI Group Rimbun Situmorang menjelaskan, kampanye hitam tersebut dilancarkan Uni Eropa lantaran adanya persaingan dagang minyak nabati di dunia.

"Karena negara-negara di Eropa juga memproduksi minyak nabati yang berasal dari bunga matahari, kedelai dan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Bila dihitung dari satu hektar tanaman bunga matahari, hanya bisa menghasilkan 0,4 ton saja minyak nabati. Nah sedangkan tanaman sawit, bisa dalam satu hektare bila dikelola dengan benar mampu mencapai 10 ton per hektare," jelas Rimbun di hadapan siswa SMA 1 Kumai, Selasa (7/8/2018).

Karena produksi yang tinggi dan harga yang murah itulah, lanjut Rimbun, negara-negara di benua Eropa merasa tersaingi. Lantaran minyak nabati yang dihasilkan negara-negara di Eropa tersebut jumlahnya sedikit dan harganya mahal.

"Saat ini minyak sawit mampu menutupi 60 persen kebutuhan minyak nabati dunia. Apa jadinya bila tidak ada minyak nabati dari sawit. Tentunya harga minyak nabati di dunia sangat mahal akibat jumlahnya sedikit. Intinya lantaran sawit tidak bisa tumbuh di Eropa, maka mereka saat ini teriak-teriak menuding bahwa sawit kita merusak lingkungan. Coba bila sawit bisa tumbuh di negara mereka, pasti mereka akan diam," jelas Rimbun.

Kemudian, lanjut Rimbun, terkait keberadaan kebun sawit yang dituding menggusur hutan yang ada, juga merupakan kampanye yang tidak benar.

"Karena pemberian izin dari pemerintah untuk membuka kebun, tidak boleh menggunakan areal hutan primer. Ada aturan yang jelas mengenai hal tersebut. Perkebunan boleh dibuat pada lahan yang sudah lama tidak produktif lagi untuk dilakukan reboisasi," jelas Rimbun. (KRIDA/B-5)

Berita Terbaru