Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Pengamat: Moratorium Disinsentif Bagi Industri Sawit

  • Oleh Nedelya Ramadhani
  • 16 Oktober 2018 - 16:26 WIB

BORNEONEWS, Pangkalan Bun - Kebijakan moratorium atau penghentian sementara penanaman kelapa sawit menjadi disinsentif bagi industri kelapa sawit dan kontradiktif dengan kebijakan perluasan penggunaan biodiesel 20% (B20).

"Seharusnya pemerintah konsisten dengan kebijakan yang dibuat, mengingat pada 1 September 2018 kebijakan B20 resmi diberlakukan di Tanah Air. Namun, selang hampir tiga pekan kemudian, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tak sinkron dengan kebijakan sebelumnya," kata pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, di Jakarta, Selasa (16/10/2018).

Saat ini, menurut Bhima, pasokan biodiesel masih bermasalah karena ketidakpastian produksi sawit.

"Kalau mau fokus ke peningkatan produksi sawit termasuk biodisel, harusnya sawit itu diberi banyak insentif bukan kemudian dihambat. Kebijakan moratorium sangat kontradiksi," papar dia.

Keluarnya Inpres No 8/2018 ini, lanjut Bhima, juga menjadi disinsentif bagi industri sawit nasional. Kebijakan ini sangat mengganggu gerak bisnis kelapa sawit, bukan hanya korporasi, tapi juga pekebun rakyat. 

"Sebab ada jutaan rakyat yang menggantungkan hidupnya ke sawit," ujarnya.

Inpres tersebut, lanjut Bhima, bertujuan agar perusahaan sawit dan pekebun rakyat melakukan intensifikasi lahan yang ada. Ini karena produktivitas per hektare (ha) sawit Indonesia masih rendah, yakni hanya 2 ton per ha, sementara Malaysia sudah 10 ton per ha. 

"Namun, intensifikasi lahan untuk menaikkan produktivitas membutuhkan waktu lama, riset yang mahal, termasuk pencarian bibit unggul, pupuk yang pas, dan lainnya. Di titik ini pemerintah harusnya berimbang melihat persoalan secara komprehensif," tutur Bhima.

Bhima menambahkan, investasi paling besar di sektor pertanian ada di perkebunan kelapa sawit. Saat ini Indonesia membutuhkan dolar untuk memperkuat devisa. 

"Di sisi lain, ekspor sawit sebagai komoditas primer penting juga harus didukung dengan kemudahan kebijakan sehingga neraca dagang bisa berbalik menjadi surplus," pungkasnya. (NEDELYA RAMADHANI/m)

Berita Terbaru