Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Pro Kontra Penghapusan Pungutan Ekspor CPO

  • Oleh Nedelya Ramadhani
  • 29 November 2018 - 10:15 WIB

BORNEONEWS, Pangkalan Bun - Keputusan pemerintah untuk menurunkan pungutan ekspor terhadap minyak sawit mentah (CPO) hingga nol persen ternyata tak sepenuhnya mendapat dukungan dari kalangan pemangku kepentingan di dalam negeri.

Seperti yang diungkapkan Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga, yang menyebut penghapusan pungutan ekspor CPO itu akan menurunkan insentif bagi pelaku industri pengilangan dan pengolahan minyak sawit domestik.

Sahat mengatakan bahwa seharusnya pemerintah tidak menurunkan pungutan ekspor CPO, melainkan hanya untuk produk minyak sawit dan turunannya.  

"Industri hilir dalam negeri tidak akan terdorong untuk memproduksi produk oleokimia dan produk olahan sebab mereka tidak mendapatkan insentif," kata Sahat di Jakarta, Rabu (28/11/2018).

Adapun keputusan pemerintah untuk memangkas untuk sementara pungutan ekspor CPO itu demi mendorong industri hilir sawit untuk menghasilkan produk bernilai tambah tinggi. Selain itu, kebijakan tersebut untuk membantu menahan kejatuhan harga CPO lebih dalam lagi dan mendongkrak kembali harga komoditas andalan ekspor tersebut.

Sedangkan Mukti Sardjono, direktur eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), mengatakan bahwa kebijakan pemerintah itu dinilai akan meningkatkan daya saing ekspor minyak sawit Indonesia.

Untuk diketahui, Indonesia bersaing dengan Malaysia untuk merebut pangsa pasar minyak nabati dunia, namun saat ini pasar tengah mengalami kelebihan pasokan sehingga membuat harga komoditas itu terus menurun.

Indonesia secara bertahap akan menaikkan pungutan ekspor ketika harga minyak sawit mencapai level setidaknya US$500 per ton. Sedangkan menjelang penutupan perdagangan Selasa (27/11/2018), harga CPO berjangka di Kuala Lumpur berada di level RM1.964 (US$468,51) per ton, atau mendekati level terendah sejak Agustus 2015. (NEDELYA RAMADHANI/m)

Berita Terbaru