Aplikasi Pilbup (Pemilihan Bupati) Kab. Kepulauan Aru Pilkada Serentak 2024

IT Konsultan Terbaik Indonesia

RI Sepakat Bawa Kebijakan Diskriminasi Sawit UE ke WTO

  • Oleh Nedelya Ramadhani
  • 23 April 2019 - 11:26 WIB

BORNEONEWS, Pangkalan Bun - Indonesia meyakini kebijakan Uni Eropa (UE) yang mengklasifikasikan minyak sawit sebagai minyak nabati tidak berkelanjutan sebagai tindakan diskriminatif. 

"Tidak ada keraguan, ini diskriminasi. Dengan latar belakang proteksionisme yang kemudian dibungkus dengan berbagai kajian ilmiah scientific," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dalam acara Briefing Diskriminasi Uni Eropa di Jakarta, awal pekan ini. 

Untuk itu, gugatan akan ditempuh melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) jika Parlemen Eropa menerima keputusan terhadap kebijakan turunan dari RED II tersebut. Parlemen Eropa masih memiliki waktu dua bulan untuk meninjau skema tersebut sejak diajukan 13 Maret 2019.

Padahal, baru satu tahun lalu, Indonesia bisa bernapas lega setelah berhasil memenangkan gugatan terhadap Uni Eropa melalui WTO atas tudingan dumping produk biodiesel.

Atas putusan tersebut, biodiesel Indonesia bisa kembali masuk ke pasar Eropa dan melakukan ekspor perdananya pada akhir Mei 2018, setelah sempat terhenti selama satu tahun. Hasilnya, realisasi ekspor ke Benua Biru tersebut pada tahun lalu mencapai 900.000 kiloliter (KL).

Saat pengusaha biofuel mulai optimistis akan proyeksi ekspor tahun ini dengan kenaikan hingga 15 persen, Eropa kembali menggencarkan strateginya untuk menghambat masuknya bahan bakar nabati Indonesia ini.

Dari kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II yang diadopsi Komisi Eropa pada 13 Maret 2019, penggunakan bahan baku biofuel yang dianggap berbahaya akan dihentikan secara bertahap mulai 2019 hingga 2023 dan dikurangi menjadi nol pada 2030.

Minyak sawit (CPO) yang diproduksi Indonesia sebagai sumber biofuel bahkan diklasifikasikan sebagai komoditas yang tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi terhadap lingkungan karena isu deforestasi.

Sementara itu, minyak kedelai yang membutuhkan luas lahan lebih banyak dari kelapa sawit, justru dinyatakan berisiko rendah. Indonesia pun mengecam diskriminasi sawit Eropa yang dinilai hanya sebuah langkah proteksionisme dan strategi memperluas pasar minyak nabati selain sawit.

Berita Terbaru