Aplikasi Pilbup (Pemilihan Bupati) Kab. Batanghari Pilkada Serentak 2024

IT Konsultan Terbaik Indonesia

RSPO Tak Mampu Dongkrak Permintaan Minyak Sawit

  • Oleh Nedelya Ramadhani
  • 27 November 2019 - 08:50 WIB

BORNEONEWS, Pangkalan Bun - Produsen minyak sawit di Tanah Air menyatakan sertifikasi minyak sawit berkelanjutan sesuai standar RSPO (Rountable Sustainble Palm Oil) yang dituntut oleh negara-negara konsumen ternyata tidak mampu meningkatkan pasar komoditas perkebunan tersebut.

Pengamat Perkelapasawitan Maruli Gultom dalam Diskusi “Evaluasi Penyerapan CPO Bersertifikat di Pasar Global” di Jakarta, Selasa (26/11/2019), mengatakan seharusnya sertifikasi tersebut memberikan nilai tambah bagi pesertanya tetapi faktanya sangatlah berbeda.

"Setiap tahun penjualan minyak sawit berkelanjutan atau Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) di pasar global di bawah 50 persen yang berakibat oversuplai dan tidak adanya premium price bagi konsumen, walaupun produsen sudah memenuhi prinsip dan kriteria sertifikat berkelanjutan sesuai permintaan negara maju terutama Eropa," katanya.

Sebaliknya, menurut dia, masih saja terjadi penolakan terhadap minyak sawit di Eropa dengan menggunakan isu-isu lingkungan atau kesejahteraan tenaga kerja.

Menurut dia, penolakan sawit di Eropa bukanlah persoalan merusak lingkungan tetapi persaingan energi dengan produk minyak nabati yang diproduksi Eropa seperti kedelai, rapeseed, dan bunga matahari.

Maruli Gultom menyatakan RSPO tidak membela kepentingan industri sawit baik produsen dan petani padahal mereka dituntut menjadi anggota yang dibebani juga membayar iuran.

"Yang terjadi, tekanan terus diberikan. Saat harga turun ataupun tidak ada premium price. Mereka tidak membela anggotanya,” katanya.

Dia menengarai sertifikasi RSPO lebih banyak memuat kepentingan bisnis negara-negara produsen minyak nabati non sawit.

"Tidak semua konsumen di Eropa mau membayar premium price bagi produk minyak sawit berkelanjutan. Siapa yang bertanggungjawab ketika premium price tidak ada (bagi produsen dan petani sawit)," ujarnya.

Sementara itu, Menteri Pertanian periode 2000-2004 Bungaran Saragih, menyatakan konsumen minyak sawit dunia yang selama ini menuntut sustainability ternyata inkonsisten.

Penyerapan pasar CPO bersertifikat sustainability, tambahnya, baru sekitar 60 persen dari produksi CPO bersertifikat sustainability.

Diakuinya bahwa banyak pihak berpandangan bahwa sertifikasi sustainability minyak sawit dinilai diskriminatif karena hanya menuntut sertifikasi pada komoditas sawit dan belum diberlakukan di seluruh komoditi maupun produk diperdagangkan secara internasional.

Berita Terbaru