Aplikasi Pilbup (Pemilihan Bupati) Kab. Sumba Timur Pilkada Serentak 2024

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Pontang-Panting Setelah Tergusur Bandara Kulon Progo

  • Oleh Teras.id
  • 02 Mei 2020 - 12:50 WIB

TEMPO.CO, Yogyakarta - Dua tahun menghuni relokasi perumahan setelah tergusur proyek Bandar Udara Internasional Yogyakarta atau dikenal sebagai Bandara Kulon Progo, Ani Suparsih bertahan hidup tanpa penghasilan yang pasti.

Untuk menyambung hidup di tempat baru, Ani membuka usaha salon di lapak berukuran 4x5 meter persegi di Dusun Kragon, Desa Palihan, Temon, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Tapi, pandemi Covid-19 membuat usahanya kocar-kacir.

Salon Ani sepi dari pengunjung. Sehari hanya ada tiga orang pelanggan. Penghasilannya turun drastis. Dalam kondisi normal, Ani per hari memperoleh penghasilan 200 ribu hingga 250 ribu rupiah. “Sekarang sepi banget. Hanya dapat 50 ribu per hari,” kata Ani, Jumat, 1 Mei 2020.

Penghasilan suaminya yang bekerja sebagai sopir mobil rental juga tak bisa menambal kebutuhan hidup. Jasa sewa rental juga terimbas, sepi pemesan karena dampak pandemi. Ani dan suami harus ekstra keras mengetatkan pengeluaran kebutuhan sehari-hari, misalnya menghemat belanja untuk kebutuhan dapur.  

Hidup di relokasi perumahan menurut Ani tak sebaik ketika dia menggarap lahan pertanian. Dua tahun lalu, pasangan ini bertani padi dan sayur di lahan seluas 1.000 meter persegi. Dia tak perlu mengeluarkan duit untuk belanja kebutuhan pangan sehari-hari. Di lahan pertaniannya yang subur melimpah padi, cabai, terong, tomat, dan kacang panjang.

Kini perempuan berumur 42 tahun ini harus pontang-panting mencari jalan untuk membayar berbagai kebutuhan. Duit ganti rugi pembebasan lahan dari PT Angkasa Pura sebagai pihak yang menjalankan proyek bandara telah habis. Ani dan enam anggota keluarganya mendapatkan ganti rugi sebesar Rp 2 miliar. Uang itu kemudian dibagi-bagi.

Ani dan suami menggunakannya untuk membeli lahan relokasi seluas 200 meter persegi. Harga lahan di relokasi itu 500 ribu rupiah per meter. Sisanya ia gunakan untuk membeli mobil dengan cara menyicil untuk usaha rental. “Lebih enak bertani karena penghasilan ajek,” kata Ani.

Bola mata Indarwati menerawang kosong. Dia kehilangan pekerjaan sebagai petani karena proyek Yogyakarta International Airport. Di kawasan relokasi perumahan Desa Palihan, Kecamatan Temon ini, ibu dua anak tersebut menganggur. Padahal, kebutuhan hidup semakin bertambah dan situasi semakin buruk saat pandemi Covid-19 menghajar.  

Sebelum tergusur karena mega proyek, perempuan berumur 44 tahun ini menjadi buruh petik cabai di lahan yang kini menjadi bandara. Satu kali memetik panen cabai, Indarwati bisa mendapatkan upah 100 ribu rupiah. Keluarganya juga mengandalkan tabungan dari hasil beternak kambing dan ayam. Tapi, kini kehidupannya tercerabut. “Sama sekali tak ada penghasilan,” kata Indarwati.

Ia mengatakan menerima ganti rugi pembebasan lahan bandara sebesar Rp 189 juta. Uang ganti rugi itu telah habis untuk membeli tanah di tempat relokasi. Dia menghitung pengeluaran untuk membeli tanah seluas 200 meter sebesar Rp 117 juta.

Dia harus berjibaku menanggung kebutuhan ongkos sekolah anaknya dan hajatan sosial. Penghasilan suaminya pas-pasan, hanya bekerja sebagai buruh bangunan, sehari memperoleh rata-rata hanya Rp 80 ribu.

Berita Terbaru