Aplikasi Pilbup (Pemilihan Bupati) Kab. Luwu Utara Pilkada Serentak 2024

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Bermuara di Mahkamah Konstitusi

  • Oleh ANTARA
  • 12 Oktober 2020 - 12:50 WIB

BORNEONEWS, Jakarta - Kontroversi terhadap Undang-Undang tentang Cipta Lapangan Kerja masih berlangsung di masyarakat dalam beberapa hari terakhir.

Diperkirakan dalam beberapa hari ke depan, perdebatan juga masih terjadi. Informasi mengenai rencana unjuk rasa juga masih berseliweran di aplikasi perpesanan.

Semua itu menambah fenomenal perjalanan undang-undang (UU) ini. Sejak awal ketika baru diwacanakan hingga pengajuan ke DPR RI, Rancangan UU (RUU) ini sudah diwarnai beragam sikap dari berbagai komponen masyarakat.

Ada yang setuju dan ada yang menolak. Sikap berseberangan itu juga mengiringi pembahasannya di DPR RI.

Sampai akhirnya DPR menyetujui RUU ini disahkan menjadi UU pada 5 Oktober 2020, sikap berseberangan itu masih terjadi. Bahkan pihak yang menolak melanjutkan perjuangan ke ranah ekstraparlementer yang puncaknya pada 8 Oktober 2020.

Mereka dari beragam latar belakang. Tidak hanya buruh atau pekerja, ada juga mahasiswa, pelajar dan masyarakat.

Bukan hanya di DKI Jakarta, tetapi juga di berbagai kota besar di Indonesia. Umumnya unjuk rasa itu menyasar kantor DPRD dan pemerintah provinsi.

Fasum


Tetapi di Jakarta justru berbeda. Pada awalnya pembahasan hingga persetujuan RUU ini, unjuk rasa dilakukan di sekitar Gedung Parlemen, tempat seluruh proses legislasi.

Namun setelah 5 Oktober, aksi-aksi penolakan bergeser. Mulai dari Cikarang (Kabupaten Bekasi) dan daerah lainnya.
 
Puncaknya pada 8 Oktober, aksi-aksi menyasar kawasan bisnis, seperti Senen, Harmoni hingga Sudirman-Thamrin termasuk Bundaran Hotel Indonesia (HI).

Kerusakan fisik berupa fasilitas umum (fasum) terjadi di sejumlah kawasan. Sejauh ini, kerusakan terparah dialami PT TransJakarta dengan 46 halte, tiga di antaranya harus dirombak total.

Kerugian fisik atas perusakan, penjarahan dan pembakaran halte tidak diungkapkan. Tetapi butuh kucuran anggaran sekitar Rp65 miliar hingga fasum ini bisa digunakan lagi secara normal.

Bisa dibayangkan betapa terganggunya mobilitas warga yang sudah terbatas di tengah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akibat operasional TransJakarta tanpa ada halte.

Kerugian fisik bisa dikalkulasi dan dana perbaikannya bisa diusahakan, tetapi kerugian masyarakat siapa yang menanggung

Kerugian tersebut pasti juga dialami perusuh yang merusak halte-halte itu jika bermobilitas untuk suatu urusan menggunakan TransJakarta dalam kurun waktu hingga beberapa pekan mendatang.

Belum lagi kalau dikaitkan dengan potensi penyebaran virus corona (COVID-19). Tak sedikit pihak yang mencemaskan munculnya klaster baru dari ajang unjuk rasa, apalagi dari hasil tes cepat (rapid test) yang dilakukan Polda Metro Jaya menunjukkan tak sedikit pedemo yang reaktif.

Gugatan

Berita Terbaru