Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Hakim Mahkamah Konstitusi juga Manusia

  • Oleh Penulis Opini
  • 28 Januari 2021 - 11:00 WIB

KENEGARAWAN hakim konstitusi sedang diuji. Apakah Mahkamah Konstitusi mampu menghadirkan keadilan substantif atau sekadar mahkamah kalkulator dalam penyelesaian sengketa Pilkada 2020. Sidang pemeriksaan pendahuluan sengketa pilkada dimulai pada 26 Januari. Sebanyak sembilan hakim konstitusi berjibaku menyelesaikan 135 perkara hingga pengucapan putusan paling lambat pada 24 Maret. 

Hakim konstitusi pada dasarnya ialah orang-orang terpilih yang memenuhi syarat memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Meski mereka negarawan, publik mestinya tetap mengawasi pelaksanaan persidangan sengketa pilkada. Diawasi karena hakim juga manusia biasa yang bisa berbuat salah. 

Praktik abusif yang pernah diperagakan Akil Mochtar (2013) dan Patrialis Akbar (2017) mestinya menyadarkan publik bahwa MK bukan institusi yang memiliki kekebalan memperdagangkan perkara. Institusi itu juga diduga memperdagangkan pengaruh sebagaimana terlihat dari pelanggaran etik yang dialami Arief Hidayat (Putusan Dewan Etik 11 Januari 2018). 

Selain itu, perkara di MK juga sempat diwarnai kehadiran saksi palsu dalam sengketa pilkada Kotawaringin Barat pada 2010. Pengacara Bambang Widjojanto yang disebut-sebut terkait dengan kasus itu sempat dijadikan tersangka. 

Namun, kasus itu tak berlanjut karena jaksa agung melakukan deponering atau menyampingkan perkara. Kita berharap, sangat berharap, kenegarawan hakim MK menjadi kunci keadilan penyelesaian sengketa pilkada. Itu karena gugatan sengketa pilkada kali ini tidak semata berdasarkan selisih suara antara 0,5% dan 2% sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU 10/2016 tentang Pilkada. Kali ini, ketentuan Pasal 158 itu tidak lagi sebagai penentu utama penyelesaian perkara. 

Syarat selisih suara akan diputus terakhir setelah selisih suara itu diperiksa kebenarannya. Dari 135 perkara hanya 25 permohonan memenuhi ambang batas yang diatur Pasal 158 tersebut. Pada umumnya gugatan pilkada ke MK terkait dengan mobilisasi aparat birokrasi pemerintahan, keberpihakan dan kelalaian penyelenggara pilkada terkait dengan syarat calon kepala daerah, dan pelanggaran politik uang. Istilah umumnya pelanggaran sistematis, terstruktur, dan masif. 

Ambil contoh perkara Nomor 50/PHP.BUP-XIX/2021 yang dimohonkan paslon nomor urut 2 Maria Geong dan Silverius Sukur di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Pada sidang pemeriksaan pendahuluan 26 Januari, kuasa hukum pemohon, Eleonarius Dawa, mendalilkan adanya pelanggaran TSM, baik yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Manggarai Barat (termohon) maupun yang dilakukan paslon nomor urut 3 Edistasius Endi dan Yulianus Weng. 

Menurut pemohon, berbagai pelanggaran tersebut telah dipersiapkan secara terencana sejak awal, mulai proses penetapan calon bupati dan wakil bupati, proses kampanye dan masa tenang, saat pencoblosan, hingga proses rekapitulasi penghitungan suara di tingkat kabupaten. Tuduhan-tuduhan itu baru bisa dijawab termohon, pihak terkait, dan Bawaslu dalam sidang lanjutan pada 1 Februari. Perkara pilkada di MK hakikatnya adu bukti, bukan adu tuduhan. 

Karena itu, tuduhan-tuduhan yang disampaikan harus didukung dengan bukti-bukti yang valid. Kalau tanpa bukti, sia-sia saja mencari keadilan ke MK, hanya buang-buang uang. Saya pernah berdiskusi dengan seorang kepala daerah yang kalah dalam pilkada kemudian mengadu nasib ke MK. Setelah buntung di MK, ia cari untung ke PTUN sampai Mahkamah Agung. Meski menang di MA, putusannya tidak bisa dieksekusi. Padahal orang itu sudah keluar uang banyak dalam pilkada, keluar uang juga untuk membayar pengacara di MK maupun MA. Semua harta digadai, yang sisa hanya penyesalan amat mendalam. MK sudah berpengalaman menangani sengketa pilkada. 

Sejak berdiri 2003 hingga 2020, MK sudah memutuskan 982 perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Dalam lima tahun terakhir, perkara yang dikabulkan MK bisa dihitung dengan jari tangan. Pilkada serentak tahap pertama dilaksanakan pada 9 Desember 2015. Dari 269 daerah yang mengikuti pilkada saat itu, 152 daerah bermuara ke MK dan hanya 3 perkara yang dikabulkan. 

Berita Terbaru