Aplikasi Pilbup (Pemilihan Bupati) Kab. Labuhanbatu Selatan Pilkada Serentak 2024

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Kudeta Myanmar Akan Kurangi Minat Investasi Perusahaan AS dan Barat

  • Oleh ANTARA
  • 02 Februari 2021 - 12:50 WIB

BORNEONEWS, Washington - Kudeta di Myanmar diperkirakan akan mengurangi minat perusahaan-perusahaan AS dan Barat dalam berinvestasi di negara tersebut dan mungkin akan mendorong beberapa perusahaan besar AS untuk menarik diri, kata pakar perdagangan dan analis pada Senin (1/2/2021).

Total perdagangan barang antara Myanmar dan Amerika Serikat berjumlah hampir 1,3 miliar dolar AS dalam 11 bulan pertama 2020, naik dari 1,2 miliar pada 2019, menurut data Biro Sensus AS.

Pakaian dan alas kaki menyumbang 41,4 persen dari total impor barang AS, diikuti oleh koper yang menyumbang hampir 30 persen, dan ikan yang menyumbang lebih dari empat persen, kata Panjiva, unit penelitian rantai pasokan S&P Global Market Intelligence.

Pembuat koper Samsonite dan pembuat pakaian milik pribadi LL Bean termasuk di antara importir besar, bersama dengan pengecer H&M dan Adidas, kata Panjiva.

Data investasi langsung AS tidak tersedia, kata kantor Perwakilan Dagang AS.

Tentara Myanmar pada Senin (1/2/2021) menyerahkan kekuasaan kepada panglima militer Jenderal Min Aung Hlaing dan memberlakukan keadaan darurat selama setahun, dengan mengatakan telah menanggapi apa yang disebut penipuan pemilu.

Langkah tersebut memicu kecaman dari para pemimpin Barat dan ancaman sanksi baru oleh pemerintah AS, dan menimbulkan pertanyaan tentang prospek satu juta pengungsi Rohingya.

Lucas Myers, analis Woodrow Wilson International Center for Scholars mengatakan kudeta itu akan memperburuk ketegangan dalam hubungan AS-Myanmar menyusul sanksi yang diberlakukan oleh Washington pada Desember 2019 dan akan semakin memperumit hubungan perdagangan.

“Dalam perdagangan, situasi Rohingya dan catatan hak asasi manusia Myanmar yang bermasalah membuat investasi kurang menarik bagi perusahaan Barat dibandingkan dengan China,” kata Myers.

William Reinsch, pakar perdagangan di lembaga pemikir Pusat Studi Strategis dan Internasional, mengatakan perusahaan-perusahaan AS dapat memilih untuk keluar dari Myanmar, mengingat perkembangan terbaru dan janji Pemerintahan Biden untuk lebih fokus pada hak asasi manusia.

Berita Terbaru