Aplikasi Pilwali (Pemilihan Walikota) Kota Gunung Sitoli Pilkada Serentak 2024

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Mayoritas Perusahaan Sawit Belum Tersertifikasi Berkelanjutan

  • Oleh ANTARA
  • 12 Februari 2021 - 09:41 WIB

BORNEONEWS, Jakarta - Analis data dan pantauan media yang dilakukan oleh Koaksi Indonesia dan Lokadata menemukan bahwa mayoritas perusahaan dan perkebunan sawit belum memiliki sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) yang menandakan tata kelola sawit berkelanjutan.

"Indikator yang bisa kita lihat untuk berkelanjutan bisa kita lihat dari Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) di mana di ISPO ada indikator seperti lingkungan, etika, kualitas, ketelusuran, jadi aspek berkelanjutan itu disertifikasi lewat ISPO bagi industri sawit yang melaksanakan sesuai aturan," kata periset Koaksi Indonesia, Adhi Triatmojo, Kamis 11 Februari 2021.

Dari total 1.725 perusahaan sawit di Indonesia baru 32,8 persen yang memiliki ISPO atau melingkupi 34,6 persen dari total 14,8 juta hektare (ha) perkebunan sawit yang telah tersertifikasi melakukan sistem yang berkelanjutan, menurut analisis data lembaga nirlaba yang mendorong percepatan energi berkelanjutan itu.

Menurut data Kementerian Pertanian sendiri pada 2020 menunjukkan bahwa dari 14,33 juta hektare (ha) lahan perkebunan sawit baru 38,03 persen atau 5,45 juta ha yang sudah ISPO.

"Bisa kita simpulkan bahwa mayoritas industri sawit atau perkebunan sawit di Indonesia masih belum mengikuti aturan-aturan atau tata kelola berkelanjutan," tambahnya.

Hal itu bisa mengindikasikan bahwa masih belum tercapainya praktik berkelanjutan di beberapa daerah penghasil sawit.

Terkait hal itu, akademisi Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (UI) sekaligus peneliti di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI, Bisuk Abraham Sisungkunon, menyoroti tidak terlalu banyak yang menaruh perhatian khusus terhadap besaran pelaku sawit yang sudah tersertifikasi ISPO.

Padahal sertifikasi itu untuk memastikan bahwa produksi sawit di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan aspek keberlanjutan dan mengurangi dampaknya terhadap lingkungan hidup.

"Ini sebenarnya menjadi satu poin bahwa mengapa hanya 40 persen," katanya. Dengan capaian tersebut maka diperlukan komitmen lebih serius untuk menjamin bahwa produksi dari minyak sawit akan tetap memenuhi asas berkelanjutan.

ANTARA

Berita Terbaru