Aplikasi Pilbup (Pemilihan Bupati) Kab. Serdang Bedagai Pilkada Serentak 2024

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Pernah Mau Dibunuh dan Diimingi Uang Banyak, Perempuan ini Kukuh Perjuangkan Hak Masyarakat Adat

  • Oleh Agustinus Bole Malo
  • 21 April 2021 - 15:55 WIB

BORNEONEWS, Tamiang Layang - Meski pernah mendapat ancaman pembunuhan, pemecatan dari status sebagai pegawai negeri sipil atau PNS saat belum pensiun atau bahkan iming-iming uang yang banyak, Mardiana Deren tetap kukuh memperjuangkan hak-hak masyarakat di Kabupaten Barito Timur.

Saat perempuan seusianya hidup tenang sambil merawat cucu di masa pensiun, nenek kelahiran Tamiang Layang yang genap berusia 63 tahun pada bulan Juli 2021 ini justru tetap memiliki keberanian dan semangat juang melebihi kaum laki-laki.

"Meski taruhannya nyawa dari dulu perjuangan ini sudah mendarah daging bagi saya sehingga rasa takut sudah tidak ada lagi," kata Mardiana mengawali perbincangannya di kediamannya, Tamiang Layang, Rabu, 21 April 2021.

Perempuan yang masih tampak energik di usia senja ini mulai menjadi pendamping masyarakat adat pada tahun 2006, kala itu dirinya masih berstatus sebagai PNS.

Keprihatinannya muncul sejak masih bekerja sebagai perawat yang sering mengobati masyarakat hingga ke kampung-kampung. Disana dia menyaksikan sendiri sumber kehidupan masyarakat yang berbasis alam atau hutan mulai rusak dengan masuknya perusahaan perkebunan sawit dan pertambangan.

"Kalau masyarakat sebelum itu kan hanya mengambil dari hutan atau alam sesuai dengan kebutuhan pada hari itu sehingga tidak merusak lingkungan, sedangkan keberadaan perusahaan sawit dan pertambangan di Barito Timur merusak sumber kehidupan masyarakat adat," ujarnya.

Karena keprihatinannya, sejak saat itu Mardiana bergabung dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap lingkungan dan masyarakat adat seperti AMAN, WALHI, KKP, VIVAT International, Save Our Borneo dan saat ini JPIC.

Dia menilai, selama ini masyarakat adat selalu kalah dalam mempertahankan haknya sehingga perusahaan yang masuk tetap melakukan aktivitas dan membuka lahan dengan sewenang-wenangnya serta mengabaikan kelestarian lingkungan, membabat hutan hutan adat serta mencaplok tanah masyarakat.

"Masyarakat adat sering dikelabui dalam pembuatan SKT (surat keterangan tanah) oleh oknum perusahaan, dulu banyak masyarakat yang tidak bisa baca tulis sehingga mereka tidak pernah membaca pernyataan maupun perjanjian dan hanya menerima begitu saja padahal isi perjanjian yang dibuat merugikan masyarakat adat," ungkap Mardiana.

"Oknum-oknum dan korporasi menggunakan cara-cara adu domba dalam mencaplok tanah masyarakat," imbuh ibu dua orang anak yang semuanya sudah berumah tangga ini.

Berangkat dari keprihatinan, pada tahun 2006 Mardiana mulai mendampingi masyarakat adat di Desa Dayu, Balawa, Murutuwu, Sarapat dan Pulau Patai. Pada tahun 2011 di Gunung Karasik, Bahalang, Lalap, Bentot, Betang Nalong, kemudian di Janah Mansiwui, Danau, Biwan, Ampari dan Janah Jari.

"Kalau masyarakat sudah merasa gelisah dengan aktivitas perusahaan dan mengetahui tentang kerusakan lingkungan maka mereka akan datang kepada kami dan melaporkan apa yang terjadi di komunitas itu, kami tidak langsung menanggapi namun kami turun ke lapangan untuk membuktikan pengaduan mereka," ujarnya.

Setelah itu, Mardiana yang merupakan lulusan Sekolah Penjenang Kesehatan Umum atau SPKU Palangka Raya tahun 1979, bersama tim mengumpulkan masyarakat dan memberikan motivasi agar mereka tidak lagi mau diadu domba oleh pihak luar  sehingga menimbulkan perselisihan di tengah masyarakat adat sendiri.

"Dengan demikian mereka akan kompak mempertahankan hak-haknya. Saya berani mengatakan, adu domba datangnya dari oknum-oknum korporasi yang ingin mencaplok tanah masyarakat," jelasnya.

Berita Terbaru