Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Banjir Kritik Rencana Kenaikan Tarif Pajak Pertambahan Nilai

  • Oleh Teras.id
  • 13 Mei 2021 - 11:40 WIB

TEMPO.CO, Jakarta - Rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai menuai kritik dari berbagai kalangan. Pasalnya, kebijakan tersebut dikhawatirkan membebani masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah, di tengah pandemi ini.

Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN-RI), Rizal E. Halim menyebut rencana kenaikan tarif pajak itu bisa langsung menekan daya beli masyarakat. Musababnya, kenaikan tarif biasanya langsung dibebankan kepada konsumen dalam bentuk kenaikan harga barang.

"Maka harga barang itu akan semakin menekan daya beli sudah tertekan, semakin tertekan," ujar dia dalam konferensi video, Selasa, 11 Mei 2021. Bahkan, kenaikan tarif itu pun dinilai bisa menyebabkan kenaikan inflasi semu. Artinya, inflasi tersebut terjadi bukan lantaran kenaikan permintaan, melainkan lantaran harga barang.

Ujung-ujungnya, situasi tersebut juga disebut bakal berimbas kepada tertekannya pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, menurut Rizal, kenaikan tarif pajak yang berimbas kepada harga barang akan menekan konsumsi masyarakat.

"Jadi masyarakat saat ini sedang menghadapi kompleksitas masalah yang dipicu Covid, larinya ke persoalan ekonomi," ujar dia.

Suara serupa juga muncul dari Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, Roy Nicholas Mandey. Dia mengatakan kenaikan tarif PPN bisa menyebabkan mahalnya harga jual barang dan jasa. Para peretail pun menolak rencana tersebut, menurut dia, lantaran akan berlaku di tengah lesunya daya beli masyarakat.

"Jika kenaikan tarif PPN disetujui, akan menjadi hal yang kontroversial. Apalagi kinerja bisnis retail sepanjang kuartal I masih minus," ujar dia. Terlebih lagi, kalau kenaikan tarif itu akan diberlakukan pada 2022. Ia menilai fundamental perekonomian Indonesia masih belum kuat.

Rencana kenaikan PPN terungkap dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional pada Selasa, 4 Mei 2021. Kala itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut kenaikan tarif PPN ditempuh sebagai salah satu opsi untuk meningkatkan penerimaan negara. Menurut dia penerimaan perpajakan dalam setahun terakhir menurun akibat lesunya kegiatan ekonomi pada masa pandemi Covid-19.

Dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2022, pemerintah mematok target penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.499,3 triliun hingga Rp Rp 1.528,7 triliun. Proyeksi tersebut turun 8,37 persen dibanding proyeksi penerimaan pajak tahun ini senilai Rp 1.444,5 triliun. Selain kenaikan tarif PPN, opsi lain yang dipertimbangkan pemerintah adalah optimalisasi penerimaan pajak dari sektor e-commerce serta pengenaan cukai pada kantong plastik.

Sehari setelahnya, pada Rabu 5 Mei 2021, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan bahwa upaya pemerintah dalam menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) masih dalam pembahasan pemerintah.

“Ini juga dikaitkan dengan pembahasan undang-undang (UU) yang diajukan ke DPR, yaitu RUU KUP (Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan),” kata dia.

Mengacu kepada UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 8 tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, pemerintah bisa mengubah besaran pungutan. UU tersebut mengatur perubahan tarif paling rendah berada pada angka 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Saat ini, tarif PPN 10 persen.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance alias Indef Tauhid Ahmad mengatakan rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai harus dikaji ulang, bahkan dibatalkan, sampai kondisi perekonomian Indonesia benar-benar pulih.

"Sampai 2022 bahkan 2023 kita masih periode pemulihan ekonomi dan belum tahu kapan Covid-19 selesai. Saya kira itu harus menjadi hal kritis, jangan sampai di tengah situasi ini justru memancing di air keruh, sehingga masyarakat yang dirugikan," ujar Tauhid.

Berita Terbaru