Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Gus Yahya dan "The Next NU"

  • Oleh ANTARA
  • 30 Januari 2022 - 12:30 WIB

BORNEONEWS, Denpasar "Innalillahi wa innailaihi rojiun, NU telah mendapat musibah yang besar, karena yang menjadi Ketum PBNU saat ini adalah sosok yang sangat jauh dari nilai-nilai Islam yang Rahmatan Lil Alamin, bahkan sangat berbahaya untuk keutuhan umat Islam. Ibarat, dari Iran ke Israel".

Itulah ungkapan yang langsung dilontarkan salah seorang tokoh Persaudaraan Alumni 212 (PA 212) sesaat setelah terpilihnya KH Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya menjadi Ketua Umum PBNU dalam Muktamar ke-34 NU di Lampung pada 22-24 Desember 2021. Pernyataan menjelang Hari Lahir ke-96 NU pada 31 Januari 2022 itu agaknya tidak perlu terlontar bila "memahami" sosok Gus Yahya melalui buku Biografi KH Yahya Cholil Staquf - Derap Langkah dan Gagasan yang merupakan karya: Septa Dinata (LKIS, 2022).

Dalam buku itu, khususnya halaman 79-83, Gus Yahya menunjukkan bagaimana ia tidak melihat soal Israel dari dimensi politik, karena mantan Jubir Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu tahu bahwa hubungan diplomatik Indonesia-Israel itu tidak ada, karena Indonesia mengakui kemerdekaan Palestina. Ia tahu itu.

Namun, ia melihat soal Israel itu dari akar masalah terkait sentimen Israel-Palestina yakni agama, lalu mengikhtiarkan solusi. Kedua agama itu saling mengutarakan kebencian. Bahkan orang Indonesia yang mungkin tidak kenal seorang Yahudi pun ikut-ikutan membenci Yahudi karena alasan agama. Kalau membenci Yahudi itu dapat pahala, kalau enggak membenci Yahudi berarti kafir. Sebaliknya, kalangan Yahudi merasa ras mereka yang paling (tinggi). Di situlah konteksnya.

Dalam buku itu lebih jauh ditunjukkan bahwa sosok Gus Yahya tidak hanya berkunjung ke Israel, tapi juga malang melintang di pentas dunia sejak bersama Gus Dur ke Amerika, Eropa, dan Vatikan. Bahkan, Gus Yahya juga tegas mengkritik pendekatan Amerika Serikat. Ia mengkritik Amerika yang dinilai terlalu bertumpu pada pendekatan militer.

"Pendekatan ini (militer) tak akan banyak berdampak, bahkan bisa membuat situasi semakin kompleks, karena pendekatan ini mengabaikan aspek ideologis yang tak kalah penting," kata Gus Yahya yang beberapa kali juga mendapatkan kesempatan untuk berbicara dalam forum-forum penting di Eropa.

Pada 10 Juni 2018, Gus Yahya diundang American Jewish Committee (AJC) atau Komite Yahudi Amerika. Keputusannya memenuhi undangan tersebut mendapat reaksi dari berbagai kalangan komunitas Muslim di Indonesia, termasuk ulama-ulama NU.

Sebenarnya, Gus Yahya bukanlah orang pertama, karena Gus Dur juga pernah diundang memberikan pidato dalam forum tersebut pada 2002 di Washington DC. Bahkan, Gus Dur juga pernah diundang datang langsung ke Israel oleh Yitzhak Rabin untuk menyaksikan penandatanganan perjanjian damai Israel-Yordania pada tahun 1994 (Barton, 2007).

Sepulang dari Israel, Gus Yahya sowan ke sejumlah kiai. Setelah dijelaskan dengan baik, sejumlah kiai dapat mengerti dengan agendanya di Israel. Bahkan, sejumlah kiai malah berbalik mendukung kegiatan tersebut dan meminta Gus Yahya untuk mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PBNU.

Dalam pertemuan dengan sejumlah tokoh NU di pesantren-pesantren terkemuka itu, Gus Yahya memberikan sejumlah penjelasan. Forum AJC itu sangat strategis dan berdampak luas, khususnya dalam politik Amerika Serikat dan kebijakan-kebijakan Barat di dunia Islam, khususnya di Timur Tengah. Setiap calon presiden di Amerika Serikat biasanya berpidato dalam forum tersebut karena besarnya pengaruh komunitas tersebut secara politik.

Berita Terbaru