Aplikasi Pilgub (Pemilihan Gubernur) Propinsi Kepulauan Riau Pilkada Serentak 2024

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Kekerasan Seksual di Kampus dan Urgensi Pengesahan RUU TPKS

  • Oleh ANTARA
  • 27 Maret 2022 - 09:30 WIB

BORNEONEWS, Jakarta - Dalam beberapa waktu terakhir, nyala alarm penanda bahaya tindak pidana kekerasan seksual di Tanah Air seolah-olah tengah kehilangan tombol untuk dimatikan. Dari waktu ke waktu, nyaringnya bahkan semakin terdengar menggelisahkan.

Gambaran tersebut terjadi di lingkungan kampus yang sepatutnya dibaluti oleh ilmu pengetahuan dan adab sebagai komponen pencegah kemunculan gema kabar terjadinya kejahatan yang merenggut kemerdekaan seseorang. Tidak bisa dipungkiri, Ibu Pertiwi kembali bersusah hati atas hiruk pikuk kabar terjadinya tindak pidana kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi.

Sebagaimana dimuat dalam data survei Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada tahun 2020 ditemukan bahwa sekitar 77 persen dosen mengakui bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampusnya. Dari kasus-kasus tersebut, sekitar 90 persen korbannya perempuan dan 10 persen merupakan laki-laki.

Di samping itu, diketahui pula bahwa sebesar 63 persen kasus kekerasan seksual di kampus tidak pernah dilaporkan demi menjaga nama baik institusi pendidikan tersebut.

Menurut Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani lemahnya penanganan kasus kekerasan seksual di kampus mendorong kasus-kasus serupa lainnya semakin banyak bergulir. Ia mengatakan titik lemah penanganan kasus kekerasan seksual muncul karena pelaku adalah orang terdekat korban di kampus, seperti dosen, mahasiswa, ataupun karyawan. Dengan demikian, para korban cenderung enggan melapor.

Andy menyampaikan minimnya pengaduan kekerasan seksual di kampus menunjukkan bahwa tidak semua lingkup institusi pendidikan mempunyai aturan yang jelas, mudah diimplementasikan, dan efektif, baik terkait dengan pencegahan maupun penanganan kekerasan seksual terhadap korban, termasuk pemulihan mereka.

Catatan miris datang pula dari Savy Amira Women Crisis Centre. Sebagaimana dikutip dari laman resminya, dari temuan terhadap 34 kasus kekerasan seksual pada tahun 2021, sebanyak 19 di antaranya terjadi di lingkungan kampus. Bahkan, Savy Amira mencatat 6 pelaku kejahatan tersebut berasal dari kampus sendiri.

Perjalanan regulasi penegakan hukum kasus kekerasan seksual
Secara umum di berbagai ranah, Hakim Agung Mahkamah Agung RI Jupriyadi mengatakan dalam rangka merespons peningkatan kasus kekerasan seksual dari hari ke hari, Pemerintah bersama DPR RI telah mengeluarkan sejumlah aturan guna memperkuat peran aparat penegak hukum dalam menangani kasus tersebut.

Ia mengatakan bermula dari pandangan yang belum memadai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk menjerat pelaku kekerasan seksual, maka telah diundangkan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014, kembali diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2016, dan yang terakhir diubah ke dalam UU Nomor 17 Tahun 2016.

Selanjutnya, ada pula UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) serta UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Kendati demikian, Jupriyadi mengatakan penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual belum dirasakan maksimal sehingga kurang memuaskan masyarakat dan menimbulkan tuntutan agar Pemerintah bersama DPR RI segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi Undang-Undang. Aturan tersebut dinilai sejumlah kalangan, mulai dari akademisi, aktivis, dan beberapa pihak dari pemerintahan mampu memaksimalkan penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual.

Berita Terbaru