Aplikasi Pilbup (Pemilihan Bupati) Kab. Seluma Pilkada Serentak 2024

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Pungutan Ekspor Sawit Dicabut, Apakah Bisa Meningkatkan Harga TBS Ini Jawaban Anggota Dewan Pakar Apkasindo

  • Oleh Wahyu Krida
  • 19 Juli 2022 - 18:31 WIB

BORNEONEWS, Pangkalan Bun - Walau saat ini pemerintah RI menyatakan bahwa pungutan ekspor sawit dicabut hingga 31 Agustus 2022, namun apakah kebijakan itu bisa meningkatkan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani

Anggota Dewan Pakar Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) yang juga petani petani kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) Wayan Supadno, Selasa 19 Juli 2022, mengatakan hal tersebut sebenarnya hanya membawa pengaruh yang tidak terlalu signifikan untuk peningkatan harga TBS.

"Saat ini masih banyak masyarakat belum paham bedanya antara pungutan ekspor dan pajak ekspor (bea keluar). Karena yang dihapus oleh pemerintah adalah pungutan ekspor oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebesar US $ 200/ton," jelasnya.

Sedangkan pajak ekspor atau bea keluar sebesar US $ 288/ton masih tetap berlaku hingga saat ini. "Penjelasan penghitungannya yaitu pungutan ekspor yang dihapus sebesar US $ 200/ton CPO setara Rp 3 juta/ton CPO atau Rp 3.000/kg CPO. Nilai tersebut, setara dengan Rp 600/kg TBS, jika rendemen lazim 20%," jelasnya.

Wayan menjelaskan logikanya jika harga TBS naik Rp 600/kg, misalnya dari harga Rp 1.000/kg harga TBS hanya naik jadi Rp 1.600/kg TBS. 

"Sekalipun harga tersebut masih di bawah biaya produksi Rp 1.800/kg TBS. Namun fakta di lapangan TBS hanya naik Rp 50/kg, bahkan banyak pabrik kelapa sawit (PKS) tutup. Kondisi ini menandakan proses pengosongan tangki yang penuh 7,2 juta ton sesuai data GAPKI tidak berjalan normal," jelasnya.

Karena menurutnya proses ekspornya mengalami hambatan serius, karena Pemerintah RI masih memberlakukan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) yang menjadi penyebab sulitnya eksportir mencari kapal untuk ekspor CPO.

"Akibatnya bisa jadi Indonesia kehilangan sebagian pembeli CPO di luar negeri. Karena bagi industri skala besar yang membutuhkan CPO sekitar 3 juta ton/bulan, mutlak harus konsisten, kontinyu, ketepatan dan kapasitas pasoknya. Jika ini gagal, dampaknya industri mereka tutup, rugi besar. Pelanggan mereka kabur juga. Itulah rantai pasok global," jelasnya.

Namun dampak mata rantai pasar kelapa sawit di bagian hulu juga cukup kompleks. "Pemda, PKS, petani dan perbankan saling menyalahkan, jika harga TBS tidak sesuai harapan, apalagi jika PKS tutup. Masalah juga mempunyai efek domino yaitu membuat daya beli masyarakat di daerah sentra sawit mendadi rendah," jelasnya. (WAHYU KRIDA/B-6)

Berita Terbaru