Aplikasi Pilgub (Pemilihan Gubernur) Propinsi Sulawesi Utara Pilkada Serentak 2024

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Mindanao Pernah Jadi Zona Konflik Terburuk di Asia, Menunjukkan Kemungkinan Penyelesaian Sengketa Global

  • Oleh Jurnalis Warga
  • 02 Agustus 2022 - 17:50 WIB

PERANG antara Ukraina dan Rusia telah menewaskan lebih dari 3.000 orang dan berlangsung hampir n seja4 bulak hari pecahnya perang. Tidak ada tanda-tanda akan berakhirnya penembakan di berbagai belahan dunia. Dalam menghadapi tatanan kehidupan baru (new normal), masyarakat internasional menghadapi kekhawatiran baru atas risiko konflik bersenjata yang meningkat di berbagai tempat termasuk di negara mereka sendiri.

Dunia telah berupaya keras untuk menyelesaikan konflik dan membangun perdamaian, tetapi setelah berakhirnya Perang Dingin, identitas-identitas etnis dan keagamaan yang terikat oleh ideologi muncul sebagai sebuah sumber konflik. Munculnya struktur konflik baru membutuhkan pendekatan baru dalam pemecahan masalah.

Dalam realitas ini, prestasi-prestasi organisasi perdamaian internasional Heavenly Culture, World Peace, Restoration of Light (HWPL), di tingkat swasta menghadirkan 'model perdamaian baru' kepada komunitas global. Ketua Man-hee Lee dari HWPL adalah seorang veteran Perang Korea yang telah mengalami berbagai kengerian perang, diberhentikan dari dinas militernya karena luka tembak.

Dia adalah seorang aktivis perdamaian yang bekerja untuk mencapai tujuan bersama pengakhiran perang dan perdamaian dunia. Prestasi representatifnya dalam memimpin HWPL Aladdin kontribusinya terhadap perdamaian di Mindanao, Filipina.

Mindanao adalah lokasi konflik bersenjata terbesar di Asia Tenggara karena konflik-konflik. Moro Islamic Liberation Front (MILF), yang berbasis di Mindanao, adalah angkatan bersenjata terbesar di Asia Tenggara serta Filipina. Pada tahun 2010-an, pemerintah Filipina menyatakan perang habis-habisan dengan MILF, yang telah mengakibatkan lebih dari 120.000 korban.

Konflik Mindanao dengan jelas menunjukkan masalah masyarakat internasional: merebaknya konflik berbasis identitas-identitas etnis dan keagamaan yang muncul pada abad ke-21. Setelah banyak pertumpahan darah, pemerintah Filipina dan MILF menandatangani Framework Agreement on the Bangsamoro (FAB) pada Oktober 2012 karena intervensi komunitas internasional, yang mengakui otonomi Muslim di Mindanao.

Tetapi bahkan setelah perjanjian itu, konflik yang telah berakar antara Islam dan Katolik tidak berakhir. Kemudian, pada September 2013, Antonio Ledesma, mantan Uskup Agung Katolik Keuskupan Agung Metropolitan Cagayan de Oro, meminta Ketua Lee dari HWPL untuk menengahi penyelesaian konflik Mindanao. Ketua Lee yang telah berkeliling dunia 31 kali untuk perdamaian hingga sesaat sebelum COVID-19, menanggapi kunjungan ke Mindanao yang masih tegang akibat konflik bersenjata.

Pada 24 Januari 2014, Ketua Lee mengunjungi Mindanao dan mengadakan Gerak Jalan Damai, dengan mengundang lebih dari 1.000 orang termasuk para mahasiswa dari Universitas Negeri Mindanao, dan para anggota Kelompok Pemuda, ke Kota General Santos, Filipina untuk pertama kalinya.

Setelah Gerak Jalan Damai, Ketua Lee menyerukan untuk menghentikan tindakan-tindakan apa pun yang mungkin mendorong konflik atas nama agama dan menekankan bahwa "Kehendak pencipta bukanlah perang, tetapi perdamaian." Setelah itu, dia bertanya kepada para hadirin, "Apakah Anda menginginkan perdamaian atau perang Jika Anda menginginkan perdamaian, silahkan angkat tangan." Dengan melihat semua orang dengan tangan terangkat, Ketua Lee meminta Fernando Capalla, mantan Uskup Agung Davao, dan Esmael Mangudadatu, Gubernur Maguindanao untuk menandatangani sebuah perjanjian damai.

Pasukan pemerintah dan MILF akhirnya menyepakati lampiran akhir dari Perjanjian Perdamaian Awal pada tanggal 25 Januari 2014. Perjanjian tersebut adalah untuk mengakui otonomi Muslim dan secara bertahap melucuti senjata MILF di wilayah Bangsamoro di Mindanao selatan, dan itu dianggap sebagai kemajuan terbesar dalam proses negosiasi 18 tahun antara kedua belah pihak.

Pada Mei tahun itu, Parlemen Filipina mulai memasukkan apa yang disebut Undang-Undang Dasar Bangsamoro ke dalam proses legislatif, dan perang saudara di Mindanao berakhir ketika Presiden Rodrigo Duterte akhirnya menandatangani Undang-undang ini pada Agustus 2018 lalu.


TAGS:

Berita Terbaru