Aplikasi Pilbup (Pemilihan Bupati) Kab. Batanghari Pilkada Serentak 2024

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Mengenang Sejarah Kita: Peristiwa 17 Oktober

  • Oleh Budi Baskoro
  • 17 Oktober 2016 - 13:16 WIB

/)

PADA 69 tahun yang lalu, seluruh pantai di Pulau Kalimantan telah diblokade oleh kapal-kapal perang Belanda. Negeri Kincir Angin bereaksi keras atas semangat nasionalistik rakyat Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Infiltrasi pejuang Indonesia antardaerah pun menjadi tertutup.

Kondisi tersebutlah yang disampaikan Tjilik Riwut (1918-1987) kepada Pangeran Muhammad (PM) Noor, Gubernur Kalimantan pertama yang berkedudukan di Yogyakarta, sebagai ibukota negara kala itu.

Sebagaimana dituliskan oleh Nila Suseono dalam buku Tjilik Riwut Berkisah: Aksi Kalimantan dalam Tugas Operasional Militer Pertama Pasukan Payung Angkatan Udara Republik Indonesia, PM Noor yang masih keturunan Kesultanan Banjar yang sudah dibekukan Belanda itu, melontarkan ide yang cukup mengejutkan, untuk kondisi hari itu: kirimkan pasukan terjun payung!  

Itu merupakan ide yang terhitung gila. Setidaknya sampai saat itu, mengingat Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih seumur jagung, dan hidupnya masih disusui secara langsung oleh rakyat. Toh ide itu disetujui oleh Kepala Staf TNI Angkatan Udara (Kasau) Soerjadi Soerjadarma.

Dalam tempo yang singkat, pasukan dipersiapkan. Diberi nama Pasukan MN 1001, sebanyak 72 pejuang mengikuti latihan persiapan yang hanya digeber lima hari. Dan,  dari jumlah tersebut, sebanyak 50 orang adalah pemuda berasal dari Kalimantan! Tjilik Riwut, pahlawan nasional asal Kalimantan Tengah, yang saat itu berpangkat mayor ditugasi sebagai Kepala MN 1001.

Di detik-detik akhir persiapan, dari 72 orang yang dilatih, diputuskan hanya 14 orang saja yang diterjunkan pada kelompok pertama. Mereka adalah Kapten Hari Hadisoemantri (asal Semarang), Letda Iskandar (Sampit), Serma Kosasih (Barito), Kapten FM Soejoto (Ponorogo), Bachri (Barabai), J Bitak (Kelapa Baru-Kalimantan), C Willem (Kuala Kapuas), Imanuel Nuhan (Kahayan Hulu), Mika Amirudin (Kahayan Hulu), Ali Akbar (Balikpapan), Letda M Dachlan (Sampit), JH Darius (Kasongan), Marawi (Rantau Pulut), dan Djarni (gagal terjun).

Mereka terbang dari lapangan terbang Maguwoharjo, Yogyakarta pada Jumat 17 Oktober 1947 dini hari. Misi yang mereka emban adalah membuka hubungan radio antara daerah dan pusat, mempersiapkan dropping zone untuk persiapan penerjunan berikutnya, membantu pejuang di Kalimantan, membuka mata dunia bahwa Kalimantan adalah bagian dari Republik Indonesia (halaman 10).

Pendaratan itu berlangsung mulus, meski disebut meleset sekitar 10 kilometer dari lokasi yang ditetapkan, yakni di Sepanbiha. Mereka mendarat di sekitar perkampungan Sambi, kini wilayah Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat. Lebih dari sebulan bergerak di daratan rimba raya Kalimantan, dan menghindari kepungan pasukan NICA yang telah mengendus kehadiran mereka, penerjun pertama Indonesia ini kemudian tertangkap. Tiga orang tewas, yakni Iskandar, Hari Hadisoemantri, dan Kosasih.

Milestone perjuangan kemerdekaan

Terlepas dari kegagalan untuk menunaikan misi penerjunan itu, peristiwa penerjunan pertama ini, kemudian diakui sebagai salah satu milestone dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. TNI AU bahkan menetapkan penerjunan pertama ini, 17 Oktober 1047, sebagai hari lahirnya Paskhas (Pasukan Khas), yang dahulunya disebut PGT (Pasukan Gerak Tjepat).

Penetapan Peristiwa 17 Oktober 1947 sebagai hari lahirnya salah satu pasukan elite di tubuh TNI itu merupakan bentuk kebanggaan terhadap para pejuang, para pahlawan bangsa. Ada semacam keinginan agar semangat berani dan berkorban untuk negeri itu tetap terpatri di dalam serdadu-serdadu profesional Indonesia masa kini.

Peristiwa 17 Oktober itu juga sebenarnya menjadi kebanggan rakyat Kalimantan. Selain bahwa salah satu pahlawannya, Iskandar kemudian diabadikan menjadi nama bandara dan pangkalan TNI AU, Pemerintah Daerah Kotawaringin Barat ikut mengabadikan perisitiwa bersejarah tersebut dengan membangun monumen Palagan Sambi, yang pesawat pengedrop para penerjun pertama itu bisa disaksikan di Kota Pangkalan Bun. Di Desa Sambi pun terdapat monumen perjuangan, di mana patung penerjun didirikan di sana.  

Namun, makna dari Peristiwa 17 Oktober itu sejatinya bisa dikupas lebih luas lagi. Melihat para aktor yang terlibat di dalam peristiwa itu, sudah jelas putra-putra Kalimantan berperan besar. PM Noor dengan "ide gilanya", Tjilik Riwut dan para penerjun dengan keberaniannya. Di tahun-tahun di mana sebagaian elite penguasa di daerah sedang digoda untuk kembali ke pangkuan Pemerintah Kolonial Belanda, para pejuang Kalimantan menunjukkan posisinya yang pro republik.

Peristiwa ini juga menunjukkan perjuangan mempertahankan Indonesia tidak hanya terjadi di Pulau Jawa dan Sumatera, dua wilayah yang diakui oleh Pemerintah Belanda kala itu sebagai Indonesia.

Pelajaran untuk hari ini

Selain menggambarkan bahwa perjuangan itu dibela para pahlawan lintas etnis, pulau dan agama, Peristiwa 17 Oktober harus diakui sebagai momen bersatunya rakyat, TNI dan politisi sipil. Para prajurit yang terjun itu, bukanlah tentara profesional seperti saat ini. Sebagian bahkan tidak memiliki pangkat sebagai tentara. Bahkan sebagian tidak pula melanjutkan karier kepangkatan gemilang di dunia militer, seperti yang dialami Kakek Imanuel Nuhan (93), yang saat ini masih hidup.

Yang terpenting bagi mereka, sebagai pasukan terjun yang ide, kelahiran dan pergerakannya dari rakyat, hanyalah Indonesia merdeka. Peristiwa ini menunjukkan, tanpa adanya rakyat dengan segenap keberanian dan pengorbanannya, tidak akan lahir TNI profesional seperti yang dibanggakan saat ini.

Pemaknaan atas peristiwa itu tidak bisa dibalik secara sepihak. Kita tidak bisa mengandaikan tentara saat itu sebagai tentara profesional murni. Tentara saat itu dilahirkan oleh rakyat. Sulit memisahkan kata rakyat dan TNI dari perjuangan masa itu.

Inilah poin terpentingnya, yang harus menjadi refleksi bersama atas peristiwa tersebut untuk hari ini. Mengingat masa lalunya, seharusnya jangan ada lagi egoisme institusi, apalagi mengatasnamakan TNI ketika terdapat persoalan yang terkait dengan kepentingan masyarakat, dan publik secara luas. TNI harus tetap berpikir dan bertindak dengan mengutamakan kepentingan rakyat!  (Budi Baskoro/*)

Berita Terbaru