Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Polres Palangka Raya Lakukan Pertemuan dengan Mantir Adat, Ini yang Dibahas

  • Oleh Budi Yulianto
  • 06 Oktober 2017 - 09:56 WIB

BORNEONEWS, Palangka Raya - Polres Palangka Raya melakukan pertemuan dengan para mantir adat dan Dewan Adat Dayak (DAD) Kota Palangka Raya, Kamis (5/10/2017).

Pertemuan yang digelar di aula Yusuf Suganda Polres Palangka Raya ini untuk menyamakan persepsi dalam menangani sebuah kasus agar tidak terjadi kesalahan. Khususnya terkait dengan meninggalnya seorang pemuda bernama Wahyu (18) di Kompleks Perumahan Betang, Jalan Temanggung Tilung, Palangka Raya, Jumat (5/5/2017).

Dia meninggal setelah ditusuk oleh pelaku berinisial AC (17) yang juga rekannya sendiri. Dalam kasus ini hukum positif sudah berjalan.

Namun pihak mantir juga menjalankan proses adat hingga menuai hasil kesepakatan denda yang harus dibayar oleh keluarga tersangka sebesar Rp75 juta.

"Ada laporan peradilan adat. Oleh karena itu kita digelar dengan menghadirkan para mantir dan DAD selaku koordinator pengawas peradilan adat Dayak," kata Kasat Reserse Kriminal Polres Palangka Raya, AKP Ismanto Yuwono.

Dia menuturkan dalam pertemuan ini pihak adat menyampaikan ada dua tahapan yang dapat dilakukan.

Yakni perdamaian adat dan peradilan adat. "Kalau itu bukan peradilan otomatis tidak bertentangan dengan hukum," imbuhnya.

Rencananya, pertemuan ini akan berlanjut Senin depan. "Jadi ada lanjutannya. Apakah yang dilakukan itu peradilan atau bukan. Kedua, apakah prosesnya sudah benar atau belum. Nanti akan dievaluasi bersama antara DAD, damang, mantir dan kepolisian," ungkapnya.

Ismanto menegaskan tidak boleh seseorang dituntut dua kali atas perkara yang sama. "Itu diatur dalam Pasal 76 ayat 1 KUHP. Kalau hukum positif berjalan, tidak ada hukum peradilan adat," tuturnya.

Sementara itu Ketua Harian DAD Kota Palangka Raya, Mambang Tubil mengatakan, pertemuan ini untuk mencari titik temu supaya menghasilkan kesepahaman dalam kasus yang menimpa warga.

"Prinsipnya kita sebagai warga negara taat dengan hukum. Kadang pemahaman teman-teman adat tentang hukum positif juga terbatas. Jadi mereka menggunakan bahasa jipen. Sebenarnya bahasa jipen itu dalam peradilan adat," ucapnya.

Mambang menambahkan juga baru mengetahui hal itu baru-baru ini. "Saya juga baru melihat sebenarnya. Teman-teman mantir tidak pernah melapor ke kita. Tapi bersyukur juga karena ini dalam rangka menjaga keamanan," tambahnya.

"Jadi terus terang mereka menggunakan kata jipen. Tapi sebenarnya pada intinya itu adalah perdamaian adat," tambah dia lagi.

Mambang menjelaskan dalam proses tersebut, terjadi kesepakatan bahwa pihak keluarga tersangka membayar Rp75 juta.

"Namun yang baru dibayar oleh pihak keluarga tersangka ke keluarga korban sebesar Rp 26 juta. Uang sepenuhnya diserahkan ke keluarga korban melalui mantir yang melaksanakan itu," jelasnya.

Menurutnya, perdamaian adat bisa dilakukan untuk menyelesaikan masalah supaya tidak terjadi gejolak. Namun, Mambang mengakui bahwa dalam proses itu tidak ada koordinasi dengan aparat kepolisian yang melaksanakan hukum positif.

"Intinya kita akan terus berkoordinasi karena tujuan kita dalam rangka menjaga keamanan, membantu pemerintah dan penegakan hukum," tegasnya. (BUDI YULIANTO/B-6)

Berita Terbaru