Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Saat Sains Menjadi Rujukan, Kita Kehilangan Cerita

  • 09 Maret 2016 - 17:05 WIB

SAINS terbukti ampuh menjelaskan fenomena alam, seperti gerhana matahari total (GMT). Bertahun-tahun sebelum peristiwa GMT 9 Maret 2016, para ilmuwan telah mengetahui kapan, di mana saja fenomena alam langka itu akan terjadi.

Masyarakat pun menyambutnya dengan suka-cita, tanpa ketakutan. Mereka ramai-ramai berselfie ria. Mitos-mitos seperti raksasa, atau makhluk jahat menelan matahari sebagai penjelas fenomena pun jadi bahan tertawaan. Karena itu, ritual adat menyambut gerhana pun hanya sekadar menjadi pertunjukan, dan tontonan.

Namun, bagi sebagian orang, terasa seperti ada yang hilang atas kondisi kekinian itu. Setidaknya, ini direfleksikan oleh Irfan Afifi, Direktur Ifada Initiatives, sebuah lembaga penerbitan dan penelitian yang banyak mengkaji khasanah pengetahuan Nusantara di Yogyakarta.

"Orang dulu, mencipta mitos sebagai sebuah cara simbolis yang lentur dalam menafsir peristiwa alam, agar memberi ruang misteri dan kegentaran pada-Nya. Di sana ada sebuah pengakuan kedhaifan bahwa kita kecil, di antara belantara benda kosmis dalam bayang "Kekuasaan"-Nya," tulis Irfan Afifi, di halaman Facebook-nya, Rabu (9/3/2016) sore.

Menurut sarjana filsafat dari Universitas Gadjah Mada (UGM) itu, setelah sains menggeser mitos, orang tak lagi merasai gejala alam sebagai peristiwa sakral. "Apalagi membuat kita dalam kondisi tremendum et fascinant," tulisnya.

"Ia, sains, mengajarkan fakta, sedangkan mitos mengajari cerita: imajinasi. Dan kita tahu, gerhana matahari adalah gejala alamiah yang hanya membuahkan jualan kacamata," lanjutnya.

Lalu, Irfan mempertanyakan: masihkah konsep "tadabbur" memiliki relevansinya "Saya tak tahu. Yang jelas, kita kehilangan 'cerita' juga imajinasi," tandasnya. (BUDI BASKORO/B-10)

Berita Terbaru