Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

''Suatu Siang di Keraton Surakarta Hadiningrat

  • Oleh Roni Sahala
  • 08 Desember 2016 - 07:00 WIB

BORNEONEWS, Surakarta - Angin dengan lembut menggoyang dedaunan, ketika bus melaju mengantarkan rombongan blogger dan wartawan ke Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Di sinilah cikal bakal berdirinya kota yang juga dikenal dengan Kota Solo.

Komplek keraton ini mayoritas di cat putih untuk dinding beton. Sementara daun-daun pintu dengan lebar sekitar tiga meter dan tinggi empat meter lebih dan berjejer, serta tiang-tiang penyangga teras yang terbuat dari besi, hasil karya pandai besi ratusan tahun lalu, dicat warna biru langit.

Udara di kota seluas 44 kilometer persegi dan dihuni sekitar 650.000 lebih jiwa ini cukup sejuk meski matahari berada tepat di atas kepala. Selain kotanya terbilang cukup hijau, rata-rata suhu udara di kota ini terendah di 22 derajat celcius dan tertinggi sekitar 34 derajat celcius.

Pemandu wisata dari Komunitas Laku Lampah Solo, Fendy Fawzy Alfiansyah, menceritakan awal mulanya keraton itu berdiri. 'Dulunya di sini dimiliki tiga orang dari satu perguruan yaitu Kyai Gede Sala, Kyai Carang dan Nyai Sumedang,' kata dia memulai ceritanya kepada rombongan Solo Media Famtrip.

Berdasarkan sejumlah tulisan, kata Fendy, dulu Kerajaan Mataram Islam pecah menjadi dua akibat politik adu domba VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda. Tertuang dalam perjanjian Giyanti, Sunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi menyepakati bahwa Kesultanan Mataram dibagi dalam dua wilayah kekuasaan yaitu Surakarta dan Yogyakarta.

Singkat cerita maka dipilihlah wilayah di tepian sungai Bengawan Solo yang dikuasai Kyai Gede Sala sebagai lokasi mendirikan Kasunanan Surakarta. Secara resmi keraton mulai didiami pada 17 Febrari 1745 atau 14 Sura 1670 merujuk penanggalan Jawa.

Fendy kemudian membawa ke Kori Wijil, atau pintu masuk utara Keraton Kasunanan Surakarta. Darisinilah pengunjung atau wisatawan boleh memasuki areal keraton dengan terlebih dahulu membayar Rp10.000 per orang.

Dalam kegiatan Solo Media Famtrip yang digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta itu, rombongan disambut Abdi Dalem bernama Sawiyono. Abdi dalem yang sudah mengabdi sejak 1987 inilah yang kemudian membawa pengunjung dan menceritakan seluk beluk keratonan itu.

"Seluruh pasir yang ada dalam Kesunanan ini berasal dari Pantai Selatan dicampur Gunung Merapi. Sehingga jika hujan tidak becek dan baik untuk terapi kesehatan, karena dipercaya bisa menghilangkan asam urat dan reumatik," tutur Sawiyono kepada rombongan.

Dia kemudian menunjukkan sebuah menara setinggi sekitar 25 meter di dalam areal keraton yang disebut Panggung Sanggabuwana. Bangunan yang tidak menggunakan tulang baja itu, kata Sawiyono, merupakan menara pantau untuk melihat pergerakan VOC pada era kolonial dulu.

Biasanya Sunan Surakarta naik ke atas seorang diri dengan alasan untuk melakukan ritual dengan Nyai Roro Kidul kata Sawiyono. Namun hal itu hanya trik saja, jelas dia, agar tidak diketahui jika sedang melihat pergerakan musuh.

Suwiyono kemudian menunjukkan bangunan tak berdinding yakni sebuah aula dengan patung-patung bernuansa Eropa klasik dan guci-guci antik di setiap sudutnya. Pada masa kesultanan Pakubuwana X, keraton ini sering dikunjungi tamu-tamu dari luar negeri.

Aula yang megah itu biasanya sering digunakan untuk jamuan besar keraton dan juga untuk pesta pernikahan putra-putri keraton. Hanya tamu sunan saja yang boleh naik,' kata Sawiyono di bawah 77 pohon sawo kecik yang ditanam pada awal berdirinya kasunanan surakarta.

Di dalam areal keraton, rombongan Solo Media Famtrip berkesempatan bertemu dengan Pelaksana Tugas Pakubuwana XIII, KGPH Peuger. Pakubuwana adalah sebutan untuk raja atau sultan, yang di Surakarta disebut sunan.

Pria dengan rambut panjang yang sudah memutih dan menjabat sebagai kepala perpustakaan itu dengan ramah menyapa pengunjung. Dia juga tak ketinggalan memberi nasehat kepada pengunjung untuk menjaga budaya di daerah masing-masing. (RONI SAHALA/m)

Berita Terbaru