Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Invasi Rusia Malah Persatukan Eropa dan Mengusik Negara Netral

  • Oleh ANTARA
  • 16 Maret 2022 - 11:21 WIB

BORNEONEWS, Jakarta - Sudah 20 hari sejak Presiden Vladimir Putin memerintahkan invasi yang disebutnya "operasi khusus" ke Ukraina pada 24 Februari, militer Rusia belum juga menaklukkan Ukraina.

Militer Rusia luas diberitakan mengalami kesulitan bermanuver hingga memunculkan dugaan tidak kompeten.

Perencanaan perangnya ternyata tak sebaik diperkirakan banyak kalangan yang sempat menduga militer Rusia yang bagai langit dan bumi jika dibandingkan Ukraina, bakal menuntaskan invasi dalam waktu kurang dari satu pekan.

Di antara faktor yang sering diulas pakar adalah logistik perang yang tak memadai sampai banyak mesin perang Rusia mandek karena tiada bahan bakar.

Masalah logistik juga yang membuat tentara Rusia kekurangan pasokan makanan, sampai-sampai pasukan khususnya menjarah toko makanan.

Rusia juga banyak menurunkan tentara wajib militer yang tak setangguh tentara reguler. Ini mungkin karena sejak awal Rusia meremehkan Ukraina.

Sistem komunikasi tempur Rusia juga ternyata sebagian masih menggunakan media tidak terenkripsi sehingga bisa disadap Ukraina.

Rusia juga gagal memanfaatkan superioritas udara dari 300 pesawat tempurnya yang bisa menjangkau seluruh penjuru Ukraina.

Padahal jika superioritas ini dimaterialisasi, kekuatan darat Ukraina bisa lumpuh karena rentan dari serangan udara skala besar. Faktanya, sampai hari ke-20, hal itu tak terjadi.

Para pakar pertahanan menilai keadaan ini menyingkapkan masalah akut dalam militer Rusia, mulai struktural, sampai disiplin tempur, dan bahkan rendahnya jam terbang pilot pesawat tempur.

Lembaga think tank pertahanan RUSI menilai angkatan udara Rusia ternyata tak memiliki kapasitas yang baik dalam merencanakan, mengarahkan, dan menerbangkan operasi udara skala besar dalam situasi perang yang rumit.

Alhasil superioritas udara Rusia tak terlihat selama invasi. Bahkan Ukraina sukses merontokkan banyak pesawat tempur dan tank Rusia hanya oleh rudal portabel Stinger dan Javelin.

Masalah dalam militer Rusia juga tersingkap dari begitu mudahnya komandan perang ditewaskan musuh, padahal mereka rata-rata berpengalaman di berbagai medan perang, dari Chechnya sampai Suriah.

Sudah tiga jenderal Rusia tewas dalam perang di Ukraina. Ketiganya adalah Andrei Sukhovetsky, Vitaly Gerasimov, dan Andrey Kolesnikov.

Operasi yang tak semulus dan secepat direncanakan ini membuat Vladimir Putin murka dan kabarnya membuat sejumlah jenderal dicopot.

Namun demikian, dengan kekuatan satu juta tentara aktif, dibandingkan 196 ribu yang dimiliki Ukraina, militer Rusia tetap bukan tandingan Ukraina.

Walau Ukraina mungkin unggul secara taktis dan semangat, di atas kertas Rusia tetap lebih superior, sehingga mungkin hanya soal waktu mereka menduduki Kiev dan kota-kota Ukraina lainnya.

Swedia Ingin NATO

Pertanyaannya, apakah setelah itu perlawanan Ukraina menyurut Kecil kemungkinan terjadi. Ukraina justru bisa mengubah taktik dengan melancarkan perang gerilya.

Itu bakal kian menyita energi Rusia yang sudah kepayahan ditimpa dampak sanksi Barat yang mustahil dicabut hanya karena Kiev jatuh dan justru sepertinya bakal semakin keras.

Perbatasan Ukraina dengan Polandia, Ceko, Hungaria dan Rumania yang semuanya anggota NATO, bisa membuat Ukraina tetap mendapatkan pasokan alat perang sehingga perang bisa semakin lama.

Padahal perang yang lama sama artinya menguras keuangan Rusia yang sudah keteteran oleh krisis sampai meminta bantuan China yang kemudian dibantah Kremlin.

Tetapi, dari pengalaman 2008 ketika perang Georgia yang berbatasan dengan Turki yang juga anggota NATO, Rusia mungkin tak akan bisa total menguasai Ukraina.

Bahkan di wilayah Ukraina yang sudah diduduki pun Rusia kesulitan menarik hati rakyat Ukraina yang sudah terlanjur memandang mereka agresor.

Rusia juga gagal memecah belah Eropa dan NATO. Justru invasi ke Ukraina makin mempersatukan Eropa sampai negara-negara non NATO pun menjadi tak aman lagi dengan sikap netralnya.

Jerman yang anggota NATO enggan menerapkan sanksi maksimum kepada Rusia akibat aneksasi Krimea pada 2014 dan perang Georgia pada 2008.

Tapi kini mereka setuju menjatuhkan sanksi maksimum kepada Rusia, termasuk membekukan proyek pipa gas Nord Stream 2 dari Rusia ke negara itu.

Namun yang mengejutkan adalah Swiss. Negara yang berabad-abad bersikap netral itu, melanggar tabu dengan turut menjatuhkan sanksi kepada Rusia.

Tak kalah mengejutkan adalah opini publik di negara netral lainnya, Swedia, yang sejak 1814 tak mau terlibat dalam perang atau pakta militer apa pun.

Jajak pendapat yang bulan ini diadakan Demoskop dan Aftonbladet menunjukkan 51 persen penduduk Swedia ingin negaranya bergabung dengan NATO. Cuma 27 persen yang menentang. Ini pertama kali terjadi mayoritas rakyat Swedia menginginkan bergabung dengan NATO.

Berita Terbaru