Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Deforestation and Neo-Colonialism Agenda agar Indonesia Tunduk pada Kepentingan Negara Maju

  • Oleh Testi Priscilla
  • 16 Juli 2020 - 11:20 WIB

BORNEONEWS, Palangka Raya - Berbagai upaya yang bersifat menghambat perusahaan sawit banyak dilakukan oleh negara-negara maju, terutama Eropa. Seperti memberlakukan tarif maupun non tarif, agar Indonesia tunduk kepada kepentingan-kepentingan negara maju tersebut.

"Istilahnya itu bukankah ini bentuk baru dari neo-colonialism yang sebenarnya memang masih banyak yang harus kita benahi," kata Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia atau Gapki Bidang Urusan Organisasi, Kacuk Sumarto saat Talkshow Palm Oil and Neo-Colonialism Agenda melalui yang dilaksanakan Indonesia atau INA Palm Oil, Rabu, 15 Juli 2020 sore.

"Meskipun tidak begitu saja bisa selesai dalam diskusi atau seminar kali ini maka dari diskusi seminar kali ini diharapkan adanya pandangan yang berkeadilan dalam memahami hutan dan pengelolaannya bukan hanya dari barangnya tapi dari fungsinya," tambahnya.

Neo-Colonialism ini, menurut Kacuk, terlihat dari upaya negara-negara maju untuk menghambat kemajuan negara tropis, khususnya Indonesia dengan mengampanyekan larangan membabat hutan tropis. Padahal faktanya, pembabatan hutan tropis tidak sebanding jumlah luasannya dengan jumlah hutan non tropis yang dibabat untuk pembangunan di negara-negara maju.

"Yang terdiri hutan non tropis sebanyak 653 juta hektare atau 93 persen dari keseluruhannya akibat kegiatan industri besar-besaran di Eropa dan Amerika. Hutan non tropis seluas 48 juta hektar atau 7 persen akibat negara-negara tropis mulai melaksanakan pembangunannya di negara masing-masing pada era tahun 1950-1980 tentunya termasuk Indonesia sendiri. Jadi kalau kita melihat data seperti tadi secara perbandingan luasan deforestasi hutan tropis termasuk yang di Indonesia atau bukan hanya yang di Indonesia saja sangat kecil dibandingkan deforestasi hutan non tropis," jelasnya.

Akan tetapi, Indonesia khususnya mengalami perlakukan diskriminatif dari negara-negara maju tersebut, Eropa khususnya, sebagai akibat pembukaan hutan tropis untuk kegiatan pembangunan.

"Celakanya kemudian sawit dianggap sebagai biang keladi deforestasi sehingga harus dilarang dan tentu saja ini adalah tidak berkeadilan. Berbagai upaya yang bersifat menghambat pengusaha sawit banyak dilakukan oleh mereka negara-negara maju tersebut dengan memberlakukan tarif maupun non tarif, agar Indonesia tunduk kepada kepentingan-kepentingan negara maju tersebut," tegasnya lagi.

Sementara itu, Duta Besar Hasan Kleib, Wakil Tetap RI untuk Perserikatan Bangsa Bangsa, Organisasi Perdagangan Dunia dan Organisasi Lainnya di Jenewa, Swiss sebagai Keynote Speaker dalam kegiatan tersebut mengatakan bahwa kampanye hitam terhadap komoditas sawit tidak pernah berhenti. Upaya seperti "palm oil free" label di produk makanan atau seruan aktivis lingkungan yang menganggap perkebunan sawit sebagai alasan degradasi hutan dan sebagainya.

"Di Spanyol juga lagi rame tentang kampanye palm oil free ini. Saya rasa GAPKI harus bergerak dan memberikan kounter terhadap kampanye-kampanye seperti ini tetapi kita perlu berbenah diri, karena baru 31 persen perusahaan sawit yang tersertifikasi ISO, regenerasi juga perlu dilakukan lebih cepat, dan mendorong kesejahteraan petani sawit serta kalau bisa dilabeling palm oil seperti clean dan sebagainya," sarannya. (TESTI PRISCILLA/B-11)

Berita Terbaru