Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Full Day School Dinilai tidak Cocok Diterapkan di Lamandau

  • Oleh Hendi Nurfalah
  • 12 Agustus 2016 - 17:13 WIB

BORNEONEWS, Nanga Bulik - Sistem full day school dalam sistem pembelajaran SD dan SLTP memberatkan dan tidak cocok diterapkan di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Wacana sehari penuh di sekolah yang dilontarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy itu, menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Meski ada yang setuju, tidak sedikit juga yang menolak mentah-mentah.

"Untuk saat ini, kalau wacana Full Day School ini diterapkan di Lamandau, akan cukup memberatkan. Karena penunjangnya belum siap. Di kota-kota besar saja (yang notabene sudah didukung sarana dan prasarananya) ribut karena banyak yang keberatan, apalagi di sini yang sarana dan prasarananya belum siap," kata Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran (Dinas Dikjar) Lamandau, Tahan Sandi, di Nanga Bulik, Kamis (11/8/2016).

Jika sistem pembelajaran Full Day School ini benar-benar akan diterapkan secara nasional, Tahan Sandi mengharapkan, pihak kementerian benar-benar melakukan pengkajian secara menyeluruh dan mendalam. Karena, katanya, bisa jadi ide ini hanya cocok diterapkan di beberapa daerah.

Menurut Kepala Dinas Dikjar Lamandau, Tahan Sandi, masih sangat banyak yang cukup memberatkan untuk penerapan sistem FDS di Lamandau saat ini. Di antaranya, sarana dan prasarana sekolah itu sendiri, tenaga pengajar yang kafabel, serta terutama juklak dan juknis metode pembelajarannya seperti apa kita juga belum tahu.

"Yang jelas kalau ditanya siap enggaknya, jujur kita (Lamandau) belum siap. Tetapi kalau nantinya sistem itu menjadi keputusan dan harus dilaksanakan ya tentu dengan terpaksa kita ikuti. Meskipun harapan kita tetap dikaji dulu lah. Jangan sampai hanya semata-mata jadi program uji coba," katanya.

Selebihnya, Tahan Sandi juga menilai, selain akan memberatkan si anak sebagai pelaku, langsung ataupun tidak langsung akan berimplikasi pada perubahan sosial di lingkungan masyarakat. Apalagi, kata dia, budaya kita diperkampungan seperti halnya di Lamandau ini, banyak sekali justru anak-anak yang pada sore hari ataupun malam hari (habis maghrib) memanfaatkan waktunya untuk belajar dan mendalami ilmu agama seperti di madrasah diniyah atau di masjid-masjid.

Ditempat berbeda, salahseorang tenaga pengajar di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Nanga Bulik, Ernila, mengaku cukup keberatan jika sistem pembelajaran FDS ini diterapkan saat ini di Lamandau. Hal tersebut mengingat keterbatasan sarana dan prasarana. "Sepertinya kalau program itu (Full Day School) diterapkan di Lamandau saat ini bakal gak cocok. Sarana dan prasarananya belum memadai."

Jangankan untuk sekolah yang di desa-desa atau pedalaman, sambungnya, yang di kota saja masih banyak yang kurang. Dengan sistem pembelajaran yang saat ini saja kita (guru) bersusah payah menerapkan sistem pembelajaran yang efektif agar murid tidak jenuh, apalagi kalau anak-anak harus di sekolah seharian, tentu mereka (murid) akan sangat bosan, bukannya belajar, tukasnya.

Terpisah, saat dibincangi Borneonews, Psikolog Yursiana Permatasi, M.Psi, juga menilai bahwa metode pembelajaran dengan memperlama si anak berada di lembaga pendidikan tidak serta menjamin bahwa pola pendidikan akan sukses dan membentengi si anak dari prilaku nakal/liar.

"Harus difahami bahwa sifat anak itu mudah bosan, mudah capek. Jika si anak "dikurung" di lingkungan sekolah dalam waktu lama dan ditambah dengan minimnya fasilitas penunjang untuk belajar dan bermain, justru akan menimbulkan si anak mudah stres," sebutnya.

Penting diketahui, kata dia, bahwa anak usia SD hingga SLTP justru masa si anak itu mencoba-coba apa yang dia lihat, dan ingin tahu lebih jauh apa yang dia baru tahu. Pola didikpun ada batasannya, 8 jam pelajaran itu sudah termasuk jam belajar yang lama sekali.

"Anak usia 8-10 tahun itu harusnya tidak belajar lebih dari 5 jam. Itupun metodenya tidak full belajar, tapi tetap sistem pembelajaran yang sangat komunikatif serta pola bermain sambil belajar," terangnya.

Selebihnya, jika FDS itu diterapkan, maka kesempatan atau ruang anak untuk mengenal dunia luar akan hilang, termasuk juga akan mengikis intensitas pertemuan dengan anggota keluarganya sendiri, tukasnya. (HENDI NURFALAH/N).

Berita Terbaru