Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Sertifikasi Tunggal Produk Sawit, Momok Bagi Industri Sawit

  • Oleh Nedelya Ramadhani
  • 30 Maret 2017 - 10:06 WIB

BORNEONEWS, Pangkalan Bun - Indonesia dan Malaysia menghadapi tantangan berat dalam memasarkan produk minyak sawit ke Uni Eropa jika Parlemen Eropa menyetujui resolusi yang mewajibkan sertifikasi tunggal untuk produk sawit.

Adapun sertifikasi tunggal untuk produk minyak sawit yang diimpor dari Indonesia dan Malaysia itu demi menjamin bahwa hanya produk yang diproses secara berkelanjutan yang dipasarkan di kawasan Uni Eropa.

Menteri Perusahaan, Perladangan dan Komoditi Malaysia Datuk Seri Mah Siew Keong, seperti dikutip Bernama, Selasa (28/3/2017), mengatakan pengajuan resolusi oleh komite khusus di Parlemen Eropa itu tidak adil dan bias.

"Bagi saya, itu tidak adil bahwa mereka (UE) menginginkan sertifikasi sebelum produk minyak sawit masuk ke pasar UE. Malaysia menentang keras resolusi itu karena hal itu akan berdampak negatif pada ekspor minyak sawit ke UE dan dampaknya terhadap perekonomian sangat buruk," tegas Mah.

Sementara itu dari Indonesia dikabarkan bahwa Peraturan Presiden (Perpres) tentang Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) tidak akan buru-buru diterbitkan karena harus dibahas dalam konsultasi publik yang luas.

"Tiga isu dalam rancangan Perpres ISPO yang membutuhkan diskusi dan konsultasi publik seperti konteks sustainability yang belum jelas, prinsip dan kriteria (P&C) yang belum disepakati, dan tata kelola Komisi ISPO terkait mekanisme penyelesaian persoalan legalitas lahan," kata Wakil Ketua Tim Kerja Penguatan ISPO, Diah Suradiredja, kepada pers di Jakarta, Rabu (22/3/2017).

Menurut Diah, lebih baik mengambil waktu dua bulan lagi untuk melakukan konsultasi publik dan diharapkan tahun ini sudah terbit.

Sebelumnya, Perpres untuk penguatan ISPO tersebut ditargetkan terbit pada Januari 2017. Namun, meski telah selesai dibahas oleh Tim Penguatan, draf rancangan Perpres tersebut masih berada di pihak Kemenko Perekonomian.

Rencananya, ujar Diah, pihaknya akan menggelar konsultasi publik rancangan Perpres ISPO pada April dan Mei 2017, yakni di Riau (Sumatera), Samarinda (Kalimantan), Palu (Sulawesi), dan Manokwari (Papua). Konsultasi publik akan membahas ketiga isu tersebut kepada pihak terkait di daerah.

"Peran pemerintah daerah semakin penting, terutama menyangkut legalitas lahan. Definisi berkelanjutan hingga kini belum jelas, masih mengikuti definisi pada UU Perkebunan," paparnya.

Selain potensi penurunan volume ekspor ke Uni Eropa, ekspor produk minyak sawit Indonesia juga tengah menurun ke Tiongkok menyusul melambannya pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu.

"Ekspor ke Tiongkok turun 48% atau dari 612,21 ribu ton pada Desember 2016 menjadi 316,75 ribu ton pada Januari 2017," kata Direktur Eksekutif GAPKI, Fadhil Hasan, beberapa waktu lalu.

Menurut Fadhil, dengan kemungkinan stagnasi permintaan minyak sawit dari Tiongkok tahun ini, diharapkan ada lonjakan ekspor di pasar Afrika dan Timur Tengah.

Potensi itu cukup terbuka, katanya, terlebih pemerintah juga telah gencar mengeksplorasi pasar di kedua kawasan tersebut.

Pada tahun lalu, ekspor minyak sawit Indonesia ke pasar Tiongkok mencapai 11% dari total ekspor atau berada di posisi ketiga setelah India (23%) dan Uni Eropa (17%).

Sedangkan pada 2015, Tiongkok juga berada di posisi ketiga sebagai pasar ekspor utama minyak sawit Indonesia (15%), setelah India (22%) dan Uni Eropa (16%).

Pasar ekspor minyak sawit Indonesia lainnya pada 2016 adalah Pakistan (9%), Timur Tengah (9%), Afrika (6%), serta Bangladesh dan AS masing-masing sebesar 4%.

Nah, selain terus mempersiapkan penerapan sertifikasi ISPO untuk produk minyak sawit nasional agar lebih mudah memasuki pasar mancanegara yang memiliki standar tinggi, Indonesia juga tak boleh lamban dalam melakukan penetrasi ke pasar global lainnya. (NEDELYA RAMADHANI/m)

Berita Terbaru