Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Perlukah Indonesia Ajukan Sertifikasi ISPO ke Uni Eropa

  • Oleh Nedelya Ramadhani
  • 27 Juli 2017 - 13:10 WIB

BORNEONEWS, Pangkalan Bun - Resolusi sawit yang disahkan Parlemen Eropa untuk menghentikan pemakaian minyak sawit dalam biodiesel kurang dari tiga tahun lagi akan diterapkan. Bagaimana nasib minyak sawit Indonesia dan Malaysia

Sebagai pemasok lebih dari 80 persen kebutuhan minyak sawit global, jelas Indonesia dan Malaysia berkepentingan untuk meyakinkan Uni Eropa tentang sertifikasi berkelanjutan bagi produk minyak sawit yang akan masuk ke kawasan Benua Biru itu.

Itulah mengapa negeri jiran itu telah mengajukan sertifikasi Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) ke Parlemen Eropa untuk dilakukan kajian. Deputi Menteri Perladangan dan Komoditi Malaysia Datuk Nasrun Mansur, seperti dikutip The Star, Rabu (26/7/2017), mengatakan status MSPO baru akan diketahui pada Oktober mendatang ketika Komisi Uni Eropa memberikan keputusannya.

Ia mengatakan ada pandangan berbeda mengenai minyak sawit di kalangan negara Uni Eropa, terkait dengan aspek kesehatan dan lingkungan. Berbeda dengan India dan Tiongkok yang juga sebagai pengimpor besar minyak sawit dunia, yang tak terlalu 'cerewet' dengan sertifikasi kecuali soal harga yang murah.

Sebagai pengekspor minyak sawit terbesar kedua dunia, Malaysia telah menggandeng kerjasama dengan European Sustainable Palm Oil Advocacy Group, European Palm Oil Alliance dan Belgian Alliance. Bagaimana dengan Indonesia

Indonesia sudah memiliki sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Bahkan untuk menyamakan persepsi dengan sejumlah pihak di pasar global, ISPO telah melakukan kajian bersama dengan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), yaitu sertifikasi berkelanjutan yang sudah berstandar internasional.

Temuan utama dari studi tersebut menunjukkan bahwa ISPO dan RSPO memiliki kesamaan tujuan, yaitu untuk menekan berkurangnya tutupan hutan, mengurangi emisi gas rumah kaca dari perubahan fungsi lahan serta kepatuhan terhadap persyaratan hukum.

Namun demikian, studi tersebut juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dari unsur yang terkandung dalam persyaratan kedua standar itu. Perbedaan yang mendasar menyangkut kawasan lindung dan konsep Nilai Konservasi Tinggi, prosedur pemindahan hak lahan perkebunan sawit berdasarkan ketentuan perundangan di Indonesia dan pelaksanaan Free Prior Informed Consent (FPIC) dalam RSPO, serta prosedur untuk penanaman baru.

Menurut seorang pelaku pasar di Jakarta, Indonesia tampaknya perlu mengikuti apa yang telah dilakukan Malaysia. Pasalnya, dengan penyamaan persepsi dan pengakuan dari Uni Eropa terkait sertifikasi yang diterapkan Indonesia terhadap produk minyak sawitnya, diharapkan komoditas andalan ini akan lebih mudah diterima dan tak lagi mendapatkan diskriminasi di pasar global. (NEDELYA RAMADHANI/m)

Berita Terbaru