Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

COVID-19: Sia-sia Berjemur Matahari, Bagaimana dengan Sinar UV

  • Oleh Teras.id
  • 06 April 2020 - 07:40 WIB

TEMPO.CO, Jakarta - Badan Kesehatan Dunia atau WHO telah menegaskan, berjemur di bawah sinar matahari tak akan menghindarkan seseorang dari infeksi virus corona COVID-19. Terik matahari maupun suhu udara lebih dari 25 derajat Celsius terbukti tak membantu negara-negara tropis dari pandemi virus itu.

WHO menyatakan itu dalam laman resminya dengan menuliskan: Anda bisa terinfeksi COVID-19 tak peduli seberapa cerah dan panas cuaca. "Untuk perlindungan diri, pastikan Anda cuci tangan bersih sesering mungkin, dan hindari sentuh mata, mulut dan hidung," kata WHO.

Praktik berjemur di bawah sinar matahari pagi menjelang siang tiba-tiba marak di masa pandemi COVID-19. Sebagian dokter merekomendasikan praktik ini dengan menyebut cuaca Indonesia tak ramah bagi patogen termasuk virus corona.

Sedang sebagian ahli membagikan di media sosial tentang spektrum matahari yang menjadi sumber disinfektan alami. Disebutkan kalau spektrum ultraviolet-C dan UV-B dari sinar matahari sangat efektif untuk melumpuhkan dan mematikan virus. UV-C dan UV-B adalah spektrum dengan radiasi energi tertinggi dari sinar matahari.

"Banyak penelitian mengkonfirmasi bahwa virus yang tersebar di udara maupun di permukaan benda bisa dilumpuhkan dan dimatikan dengan sinar matahari alami maupun dengan sinar UV buatan dari lampu," begitu di antaranya bunyi informasi yang dibagikan.

Guru Besar Biokimia dan Biologi Molekuler di Universitas Airlangga, Chaerul Anwar Nidom, memiliki pendapat dengan kesimpulan yang sama dengan pernyataan WHO. Menurut peneliti yang banyak menelaah soal virus flu burung ini, virus mati dalam hitungan jam oleh paparan ultraviolet hanya terjadi di laboratorium.

"Artinya virus yang telanjang dan tidak terbungkus apa-apa...sementara UV di alam tidak bisa langsung, karena virus atau kuman tubuhnya terbungkus material biologi," katanya lewat aplikasi percakapan di telepon genggam kepada Tempo.

Andai hipotesis virus corona mati di bawah sinar matahari karena spektrum UV itu diterima sebagai kebenaran, Nidom mengatakan, "maka kuman-kuman di tropis sudah habis. Tapi mari kita lihat faktanya."

Sedang di laboratorium, dia menambahkan, lampu UV harus dinyalakan ketika ruangan kosong. "Tapi kalau itu ditarik ke suasana alam, perlu mendapat evaluasi lagi," katanya.

Peneliti mikrobiologi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Sugiyono Saputra, juga meragukan hipotesis itu. Dia mengatakan kalau UV bisa membunuh virus dan bakteri tapi, menurutnya, tidak berarti virus corona COVID-19 yang sudah menginfeksi di dalam tubuh bisa diatasi dengan berjemur sinar matahari. "Virus bisa mati maksudnya kalau di lingkungan, di luar tubuh," kata dia.  (TERAS.ID)


 

Berita Terbaru