Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Risiko Politik Uang Dalam Pilkada

  • Oleh Penulis Opini
  • 07 November 2020 - 06:15 WIB

PILKADA secara langsung merupakan bagian dari sistem demokrasi prosedural yang  mengakui kedaulatan rakyat. Rakyat mempunyai hak untuk memilih kepala daerah. Rakyat juga diberikan kebebasan untuk menentukan pemimpin daerahnya. Kuasa rakyat dalam sistem politik elektoral ini bekerja berdasarkan prinsip one person, one vote, one value. Dalam prinsip itu, suara tujuh orang profesor dinilai sama dengan tujuh orang lulusan sekolah dasar. Siapapun yang dipilih rakyat dalam konteks pilkada itulah yang berhak menjadi pemimpin daerah. Setan gundul pun bakal menjadi pemimpin manakala mayoritas rakyat menghendakinya. 

Rakyat yang menjadi penentu membuat calon kepala daerah melakukan segala cara, bahkan cara yang tidak lazim pun ada yang melakukan dengan menggunakan money politik untuk merebut suara rakyat.

Sikap yang tidak lazim tersebut menjadi budaya sepanjang rakyat menganggap suara yang dimiliki harus dihargai dengan bayaran. Hal ini menandakan eksistensi nilai-nilai lokal demokrasi mulai surut seiring dengan semakin kuatnya individualisme dan saudara kembarnya yang bernama konsumerisme. Dua inilah yang menjadi racun awal demokrasi lokal.

Individualisme merupakan kampanye panjang dari negara kapitalisme untuk memenangi pasar bebas yang jelas dekat dengan konsumerisme. Setiap individu diyakinkan betul bahwa mereka punya hak untuk memilih (one man one vote) dan dipilih tanpa memandang siapa dirinya di mata konstituen. Selain itu, setiap individu juga dilatih dan dianjurkan untuk memberangus nilai-nilai suci demokrasi dengan membeli suara. Suara pemilih adalah segala-galanya sehingga segala cara apapun patut dilakukan.

Sebaliknya rakyat selaku pemilih pun telah terhipnotis dengan individualisme dan konsumerisme. Para pemilih menganggap bahwa suara mereka adalah kapital yang memiliki nilai, dan harus dihargai dengan uang. Mereka hanya menganggap proses demokrasi sebagai ajang untuk menjual suara kepada pembeli termahal (para kandidat).

Dahulu warga desa tak pernah mempertimbangkan opportunity cost, bahwa mereka tidak pergi kerja karena harus ke tempat pemungutan suara pemilihan kepala desa mereka harus mendapatkan kompensasi. Permasalahan ini tidak terlepas dari sikap calon pemimpin yang memilih jalan pragmatisme dengan menghamburkan jor-joran politik uang dengan segala bentuk untuk mendapatkan dukungan rakyat

Ketika calon kepala daerah mengandalkan money politic (politik uang) dalam memperebutkan suara rakyat demi kekuasaan, mereka bukan pemimpin yang sungguh-sungguh menomorsatukan kepentingan rakyatnya. Karena pemimpin tersebut merasa tidak ada hutang atau tidak ada beban lagi kepada rakyatnya yang memberikan suara sudah diganti dengan uang sebagai kompensasinya. Lagi pula, pemimpin yang terpilih dengan menggunakan money politik dapat saja dikatakan bukanlah pemenang sebenarnya melainkan bandarnya yang akan mempengaruhi roda pemerintahan.

Jika lewat proses ini calon kepala daerah terpilih, maka modal berbaur dengan kekuasaan, menciptakan tirani, yang dikhawatirkan akan menghambat proses reformasi birokrasi. Sehingga demokrasi dalam pilkada yang tergadai ini, lebih berpihak pada kelompok pemilik modal, bukan kesejahteraan rakyat. Ini juga berakibat lebih lanjut kebijakan dan program yang diambil oleh pemerintah yang terbentuk tentu menjadi bias pada kepentingan vested interest, bukan pada kepentingan publik. Dampaknya barang-barang publik seperti kesehatan, pendidikan, perumahan, infrastruktur dan lain-lain tidak tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang baik. 

Sehingga berbagai kalangan, dan atau ada calon kepala daerah yang menolak sekaligus mengkampanyekan bahayanya politik uang sebuah kewajaran karena rakyat sendirilah yang akan memikul konsekuensinya. Oleh sebab itu, politik uang hanya dapat ditaklukan bilamana adanya kesadaran rakyat bersepakat menolak politik uang dalam bentuk apapun yang bertujuan untuk membeli suara rakyat. 

Penulis: Rahimullah/Alumni FISIP Universitas Lambung Mangkurat saat ini sebagai mahasiswa pascasarjana FISIP Universitas Airlangga
 

Berita Terbaru