Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Soal Dugaan Perambahan Hutan, Ini Klarifikasi USTP Group

  • Oleh Hendi Nurfalah
  • 15 Agustus 2021 - 20:20 WIB

BORNEONEWS, Nanga Bulik - Dugaan perambahan hutan oleh perusahaan di bawah bendera Union Sampoerna Triputra Persada (USTP) Group yang beroperasi di Kabupaten Lamandau dan beberapa daerah sekitar terus menyeruak. Diketahui, USTP memiliki dua anak perusahaan yang beroperasi di Lamandau. Keduanya, PT Sumber Mahardhika Graha (SMG) dan PT Graha Cakra Mulya (GCM).

Berdasarkan Peta Lampiran Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.6025/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/11/2017, di lokasi kedua perusahaan tersebut tampak terdapat lahan berstatus kawasan hutan.

Di lokasi PT GCM, terdapat kawasan hutan produksi terbatas (HPT), hutan produksi tetap (HP) dan hutan produksi yang dapat di konversi (HPK). Sedangkan di lokasi PT SMG, terdapat kawasan hutan produksi tetap (HP) dan hutan produksi yang dapat di konversi (HPK).

Rinciannya, di lokasi PT GCM terdapat HPT seluas 139,38 hektare, HP seluas 12,53 hektare dan HPK seluas 640,11 hektare. Artinya luas kawasan hutan yang diduga digarap PT GCM USTP Group seluas 792,02 hektare.

Sedangkan di lokasi PT SMG terdapat HP seluas 10,71 hektare dan HPK 763,67 hektare. Artinya luas kawasan hutan yang diduga digarap PT SMG USTP Group seluas 774,38 hektare.

Berdasarkan rincian tersebut, jumlah keseluruhan kawasan hutan yang diduga digarap kedua perusahaan di bawah bendera USTP Group itu seluas 1.566,4 hektare. Selain diduga menggarap hutan, kedua perusahaan di bawah bendera USTP Group ini pun belum merealisasikan aturan 20 persen plasma dari luas hak guna usaha (HGU).

Beberapa persoalan itu yang kini tengah dipertanyakan oleh masyarakat Desa Penopa, Kecamatan Lamandau, Kabupaten Lamandau. Namun, hingga kini belum ada kejelasan.

Sementara itu, dalam merespon dinamika yang berkembang pihak USTP Group baru-baru ini mengeluarkan rilis yang mereka sebut sebagai pointer media briefing. Pointer media briefing itu disampaikan melalui Pungki, pihak yang menyebut dirinya sebagai juru bicara USTP Group.

Berikut tulisan lengkap pointer media briefing yang disebutnya sebagai bentuk klarifikasi atas pemberitaan yang berkembang itu:

PT Sumber Mahardhika Graha (SMG) dan PT Graha Cakra Mulya (GCM) sejak awal beroperasi berdasarkan dan sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

PT SMG memiliki ijin-ijin berupa:
1. Ijin Usaha Perkebunan (IUP) dari Gubernur Kalimantan Tengah tahun 2005
2. Ijin Kelayakan Lingkungan (AMDAL) berdasarkan Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah tahun 2006
3. Sertifikat Hak Guna Usah (HGU) dari Badan Pertanahan Nasional tahun 2007, dimana dalam SK HGU disebutkan  bahwa areal berstatus tanah negara merupakan Kawasan Pengembangan Produksi (KPP) atau Non Hutan.

Pada tahun 2012, Kementrian Kehutanan dan Lingkungan Hidup menerbitkan Peta Kawasan Hutan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 529/Menhut-II/2012, dan diketahui bahwa areal perkebunan kelapa sawit PT SMG yang memiliki HGU dan IUP itu dinyatakan berada dalam kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK). Hal ini disebabkan Perda Kalteg Nomor 8 Tahun 2013 tidak diakui oleh Kementrian Kehutanan sehingga areal kebun HGU dan IUP yang sudah KPP (Non Hutan) dinyatakan masih HPK,

Selanjutnya, sesuai dengan PP No 60/2012 (Tentang Perubahan Atas Peratura Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan), PT SMG mengurus dan mendapatkan Ijin Pelepasan Kawasan Hutan tahun 2012. Perbedaan/selisih luasan disebabkan perbedaan pemakaian teknologi GPS pemetaan yang dipakai antara Kehutanan yang sudah menggunakan metode digital (2012) vs Pemda Kalteng (2003) yang masih menggunakan metode manual, di masa yang berbeda.

PT GCM memiliki ijin-ijin berupa:
1. Ijin Pelepasan Kawasan Hutan dari Menteri Kehutanan Republik Indonesia tahun 1997
2. Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) tahun 1998
3. Ijin Usaha Perkebunan (IUP) dari Departemen Kehutanan dan Perkebunan tahun 2000
4. Ijin Kelayakan Lingkungan (AMDAL) tahun 2004.

Pada tahun 2012, Kementrian Kehutanan dan Lingkungan Hidup menerbitkan Peta Kawasan Hutan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 529-II/2012, dan diketahui ada perbedaan batas koordinat antara HGU dan IUP dengan batas kawasan hutan. Perbedaan batas tersebut disebabkan perbedaan pemakaian teknologi GPS pemetaan yang dipakai antara Kehutanan + BPN tahun 1999 yang masih menggunakan metode manual vs Peta Kawasan Hutan yang sudah menggunakan metode digital.

Solusi Penyelesaian Tumpang Tindih Peta Perijinan vs Peta Kawasan Hutan Menurut UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020 dan PP No 24 Tahun 2021. Pasal 110 A UU Cipta Kerja dan PP No 24 Tahun 2021 secara prinsip mengatur hal-hal sebagai berikut:

1. Perusahan sawit yang sudah terbangun, memiliki Ijin Lokasi atau IUP tetapi belum memiliki Ijin Bidang Kehutanan (Ijin Pelepasan Kawasan Hutan atau Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan), maka dalam 3 tahun, wajib mengurus Ijin di Bidang Kehutanan.
2. Penjelasan PP No 24 Tahun 2021 secara tegas menyebutkan kelanjutan pasal 110 A, "...tidak dikenai sanksi pidana, tetapi diberikan kesempatan untuk menyelesaikan pengurusan perijinan dibidang kehutanan dengan membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR)".

(HENDI NURFALAH)

Berita Terbaru