Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Penguatan Internal dan Diplomasi untuk Hadapi Ancaman Resesi

  • Oleh ANTARA
  • 01 Agustus 2022 - 01:00 WIB

BORNEONEWS, Jakarta - Konflik antara Ukraina dan Rusia yang berjalan sejak Februari 2022 belum menunjukkan titik temu dan masih menimbulkan ketidakpastian di perekonomian global.

Perseteruan geopolitik yang berlarut-larut itu telah mengganggu rantai pasok dan menyebabkan ketidakseimbangan permintaan dengan penawaran di tengah kondisi dunia yang belum sepenuhnya pulih.

Kondisi itu menyebabkan rangkaian efek yang panjang karena telah menyebabkan harga komoditas pangan maupun energi menjadi mahal dan tingkat inflasi melonjak tinggi.

Itulah salah satu pemicu Federal Reserve AS atau bank sentral AS pada Rabu (27/7) menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin, mendekati level 2,25 persen dan 2,5 persen, karena peningkatan inflasi tidak menunjukkan tanda-tanda pelonggaran yang jelas.

Kenaikan ini langsung direspons oleh bank-bank besar AS, JPMorgan Chase & Co, Citigroup dan Wells Fargo untuk menaikkan suku bunga pinjaman utama sebesar 75 basis poin menjadi 5,5 persen. Saham-saham di Wall Street ikut menguat pada akhir perdagangan Rabu (Kamis pagi WIB).

Penguatan suku bunga paling tajam sejak 1994 ini jelas dilakukan untuk meredam inflasi AS yang tercatat mencapai 9,1 persen pada Juni 2022 atau yang tertinggi dalam empat dekade sebagai langkah pengetatan moneter. Dengan demikian, total kenaikan suku bunga (Fed Fund Rate) sejak Maret 2022 menjadi 225 basis poin.

Kondisi ini bisa menjadi alarm berbahaya mengingat setiap AS menaikkan suku bunga acuan, terlebih lagi secara sangat agresif, biasanya diikuti oleh krisis keuangan di negara-negara emerging seperti yang terjadi pada 1974 dan 1980-an.

Profesor Departemen Hubungan Internasional di London School of Economics and Political Science James Morrison menilai langkah pengetatan tersebut berpotensi memperlambat perekonomian AS dan berdampak negatif terhadap perekonomian global.

Secara lebih substantif, implikasi dari kebijakan ini adalah adanya perubahan pola perdagangan antara AS dan Uni Eropa dan juga pola investasi, tidak hanya antara dua ekonomi besar ini, tetapi antara kedua ekonomi dan seluruh dunia, seiring dengan penguatan dolar AS.

Menanggapi kondisi saat ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan Indonesia harus tetap waspada karena semua indikator ekonomi dunia mengalami pembalikan yaitu dari sebelumnya pemulihan menjadi pelemahan.

Pada saat yang sama, ia juga melihat kompleksitas dari kebijakan moneter di negara maju, telah berpotensi menimbulkan imbas negatif ke negara-negara di seluruh dunia termasuk Indonesia.


TAGS:

Berita Terbaru