Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Sajian dan Ornamen Upacara Basunat Kaya Filosofi

  • 28 Februari 2016 - 14:34 WIB

Berbagai ornamen dan hidangan menarik yang sudah jarang terlihat bermunculan di kegiatan khitanan, atau dalam bahasa lokal disebuh Basunat, di Istana Mangkubumi, Jalan Pakunegara, Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Minggu (28/2/2016).

Kegiatan Basunat merupakan rangkaian Pekan Budaya Adat Raja 2016 ini sebelumnya dibuka dengan Badudus, atau mandi berendam. Kegiatan itu berlangsung di Kolam Tujuh Putri yang masih dalam Kompleks Istana Mangkubumi.

Setelah itu 18 anak yang rencananya akan dikhitan, kembali ke dalam istana. Di dalam istana, keluarga masing-masing anak kemudian memakaikan baju adat Kutaringin dan memakai kopiah cabang. 

Kopiah cabang merupakan kopiah khusus yang biasanya digunakan anak dalam prosesi basunat, berwarna kuning dan dihiasi ornamen. Disebut kopiah cabang karena adanya tiga cabang di bagian kiri tengah dan kanan pelindung kepala tersebut.

Sebelum dikhitan, para peserta kemudian harus menjalani acara adat betotay atau duduk di atas tumpukan kain yang dilipat secara khusus. Di hadapan para peserta terdapat penganan tradisional yang selain nikmat disantap. Penganan tradisonal ini juga penuh filosofi.

Gusti Husin, selaku Kerabat Juriat, menjelaskan filosofi dari ornamen tersebut. "Tempat duduk anak yang akan dikhitan merupakan kain yang dilipat berbentuk bintang. Ada empat kain yang ditumpuk sebagai alas duduk. Kain pertama dilipat tiga sebagai perlambang tiga fase kehidupan si anak yaitu lahir, menikah dan kematian," jelasnya.

Kemudian kain yang ditata menjadi lima lipatan sebagai perlambang Rukun Islam. setelah itu kain yang terdapat tujuh lipatan sebagai perlambang tujuh lapis langit dan bumi. 'Terakhir kain dengan 9 lipatan sebagai perlambang 9 macam ruh manusia," jelasnya.

Di dinding lokasi utama kegiatan Betotay dihiasi kain yang bernama Kain Tambal Seribu. Kain tambal seribu merupakan kain yang dihiasi ornamen dengan mengunakan tambalan kain lain. 

"Ini melambangkan persatuan antaragama, suku dan bangsa. Juga merupakan perlambang persatuan kerabat jriat dan kesultanan," jelasnya.

Selain itu, makanan yang disajikan juga memiliki makna filosofi serupa. "Ada 40 macam kue yang disediakan sebagai syarat kegiatan ini. Kue itu dimasak dengan berbagai macam cara. Ada yang dimasak dengan cara direbus, digoreng dan dibakar. Sebagai contoh, kue yang dimasak dengan cara dibakar adalah kue bingka," jelasnya. 

Kemudian ada juga nasi ketan dan nasi pulut sebagai perlambang melekatnya kerabat kesultanan dengan masyarakat umum.

"Kue yang diletakkan menggunakan nampan kuningan ini namanya kue gegauk. Terbuat dari tujuh macam gunungan ketan dan terbuat dari campuran ketan, beras Jawa, dan ubi kayu. Sedangkan nampan tempat meletakkan kue gegauk tersebut bisa dikatakan benda pusaka yang bernama piring beranak. Dinamakan piring beranak karena piring tersebut memiliki bagian piring kecil yang mengelilingi nampan," jelasnya. (WAHYU KRIDA/m)

Berita Terbaru