Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Yuk, Kenali Skabies

  • Oleh Penulis Opini
  • 26 Maret 2024 - 16:40 WIB

Apa itu skabies

Skabies/gudik/kudis adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh tungau yang disebut Sarcoptes scabie menggali ke dalam kulit. Skabies umumnya terjadi di negara berkembang dengan iklim tropis, terutama di lingkungan dengan sanitasi yang buruk, pelayanan kesehatan yang kurang baik, dan di daerah hunian padat penduduk, seperti di barak tentara, rumah tahanan, asrama, panti asuhan, dan pondok pesantren. Skabies akan lebih berisiko mengenai seseorang dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah, higienitas personal yang buruk, dan memiliki kebiasaan hubungan seksual yang bersifat promiskuitas atau sering berganti pasangan

Tanda dan gejala skabies umumnya berupa, rasa gatal yang seringkali sangat kuat dan biasanya lebih parah pada malam hari, ditemukannya tungau pada pemeriksaaan kulit, menyerang sekelompok orang yang tinggal di suatu hunian dan galian kulit yang tipis serta tidak beraturan, berbentuk luka atau benjolan pada kulit, galian biasanya muncul di area lipatan kulit. Pada orang dewasa dan anak yang lebih besar, skabies umumnya ditemukan diantara jari-jari, ketiak, sekitar pinggang, bagian dalam pergelangan tangan, bagian dalam siku, telapak kaki, sekitar payudara, sekitar alat kelamin pria, bokong, lutut, selangkangan punggung. Sementara itu, pada bayi dan anak yang lebih kecil, infeksi skabies dapat terlihat di kepala, wajah, leher, telapak tangan, telapak kaki. Diagnosis skabies dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda khas tersebut.

Penyakit kulit ini sering menimbulkan ketidaknyamanan karena terasa sangat gatal. Akibatnya, penderita sering menggaruk dan menyebabkan suatu infeksi sekunder terutama yang diakibatkan oleh bakteri Group A Streptococci (GAS) serta Staphylococcus aureus. Kondisi ini diperparah lagi dengan penderita melakukan pengobatan sendiri tanpa petunjuk dari dokter. Komplikasi yang diakibat oleh infestasi sekunder GAS dan S. aureus sering terdapat pada anak-anak di negara berkembang.

Pengobatan skabies dilakukan dengan tujuan menghilangkan infeksi melalui pengobatan. Beberapa jenis krim dan lotion dapat digunakan sesuai petunjuk dokter. Karena skabies mudah menular, dokter akan merekomendasikan pengobatan dilakukan oleh seluruh anggota keluarga atau individu lain yang memiliki kontak dekat, meskipun tidak menunjukan tanda-tanda infeksi.

Untuk mencegah infeksi skabies berulang dan penularannya kepada orang lain, beberapa langkah berikut dapat dilakukan:

  • Mencuci semua pakaian dan kain yang digunakan.
  • Gunakan air hangat dan sabun untuk mencuci semua pakaian, handuk, dan seprai yang telah digunakan dalam tiga hari sebelum memulai pengobatan.
  • Keringkan dengan suhu tinggi. Untuk benda yang tidak dapat dicuci di rumah, gunakan layanan binatu.
  • Untuk benda yang tidak dapat dicuci, masukkan ke dalam plastik yang tertutup rapat dan simpan di tempat yang tidak terganggu selama sekitar dua minggu.
  • Tungau akan mati jika tidak mendapatkan makanan selama beberapa hari.

Mengapa penting untuk mengenal skabies

Secara umum, skabies diderita oleh lebih dari 400 juta orang/tahun, sehingga ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 2017 sebagai salah satu penyakit tropis terabaikan (neglected tropical disease – NTD) dan masuk dalam peta jalan NTD WHO 2021– 2030. Prevalensi di Indonesia dilaporkan sebelumnya berkisar antara 3,9– 6%, dan merupakan penyakit infeksi ke-3 terbanyak dari 12 penyakit kulit yang marak menjangkiti masyarakat Indonesia. Laporan lain menyebutkan bahwa di Indonesia, kasus tertinggi ditemukan di Pondok Pesantren, prevalensi bervariasi antara 51,6-68% pada tahun 2013, meningkat hingga 76,9% pada tahun 2017. Pondok pesantren adalah salah satu tempat yang berisiko untuk terjadinya penularan skabies secara luas karena seringnya kontak yang terjadi antara sesama santri dari pagi hingga malam hari, kebersihan lingkungan yang kurang terjaga dan kepadatan hunian yang tinggi. 

Dampak langsung yang dapat terjadi pada penderita skabies adalah gatal hebat terutama pada malam hari (pruritus nokturna) yang disebabkan oleh aktivitas tungau Sarcoptes scabiei var. hominis di lapisan kulit, akan mengakibatkan rasa yang tidak nyaman dan meningkatkan keinginan untuk terus menggaruk. Rasa ingin menggaruk ini mengakibatkan seseorang sulit untuk memulai tidur atau sering terbangun di malam hari, sehingga dapat menimbulkan gangguan kualitas tidur. Hal ini akan berdampak pada penurunan produktivitas dan fokus seseorang karena tidak dapat beristirahat dengan tenang, sering merasa ngantuk, dan pusing. Penderita skabies juga cenderung menjadi individu yang tidak percaya diri dan antisosial dikarenakan lesi pada kulitnya Dampak skabies tidak hanya dirasakan oleh penderita saja, namun juga akan memengaruhi orang lain yang hidup bersama dengan penderita karena penularan skabies sangat mudah dan cepat.

Pada dasarnya, tingkat pengetahuan yang buruk tentang skabies menjadi faktor risiko meningkatnya angka kejadian skabies, dan dikarenakan masyarakat memiliki asumsi bahwa skabies bukanlah penyakit yang membahayakan, padahal akibat dari penyakit ini dapat menyebabkan infeksi sekunder yang berakibat fatal. Hasil penelitian Rosa dkk, menunjukan terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan skabies dan kejadian skabies. Orang dengan tingkat pengetahuan rendah tentang skabies memiliki prevalensi skabies lebih tinggi karena belum cukupnya informasi mengenai penyakit skabies sehingga tidak dapat melindungi diri dari skabies.

Kesulitan menurunkan prevalensi skabies di berbagai komunitas, misalnya di pondok pesantren, disebabkan oleh stigma yang melekat di dalam diri santri. Dalam sebuah studi, dari hasil wawancara santri, diketahui bahwa skabies dianggap sebagai hal yang biasa. Bahkan, terdapat persepsi di kalangan penghuni pondok pesantren bahwa mereka belum dianggap pernah tinggal di pesantren apabila belum pernah mengalami skabies. Perlu diingat, anggapan bahwa tertular skabies merupakan hal yang rutin dan biasa di masyarakat akan berakibat pada rendahnya kepatuhan dalam melakukan pengobatan khususnya pada komunitas padat dan kumuh yang tinggi prevalensinya.

Berita Terbaru