Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Kerukunan Bangsa Indonesia

  • Oleh Penulis Opini
  • 27 Januari 2017 - 19:12 WIB

BORNEONEWS - Indonesia adalah negara majemuk (pluralisme), artinya terdiri dari berbagai kelompok, suku budaya, adat-istiadat, ras, dan agama.

Menerima kemajemukan berarti menerima adanya perbedaan, namun bukan berarti menyamaratakan. Tetapi mengakui bahwa ada hal yang berbeda, di dalam pluralisme atau kemajemukan, kekhasan yang membedakan yang satu dengan yang lain tetap ada dan tetap dipertahankan.

Salah satu dari kemajemukan Indonesia adalah memiliki warga etnis Tionghoa. Di mana pada 28 Januari 2017 nanti warga Tionghoa akan merayakan hari raya besarnya yakni Perayaan Tahun Baru Imlek 'Gong Xi Fat Cai 2568'.

Tahun Baru Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa. Perayaan Tahun Baru Imlek pada 2017 ini merupakan tahunnya Ayam Api, yang dimulai dari 28 Januari 2017 sampai dengan 15 Februari 2018 atau yang lebih dikenal dengan Festival Musim Semi China.

Secara epistimologi Imlek tahun 2017 adalah Elemen Api (Yin) menjadi unsur dominan di tahun ini, yang menunjukkan kehangatan serta ketenangan batin di dalam menjalin hubungan antarpribadi, keluarga, masyarakat. dan bangsa Indonesia.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa kesadaran bertoleransi agama sangat dibutuhkan di setiap elemen masyarakat di seluruh wilayah di Indonesia. Dari berbagai macam suku bangsa, adat budaya, ras, dan agama yang berbeda-beda kita bisa menciptakan dan membina kerukunan yang menjadikan kekuatan tidak terbantahkan yang hanya dimiliki Indonesia.

'Bhineka Tunggal Ika' menjadi landasan yang kokoh dan menjadikan Indonesia dikenal di mata dunia sebagai negara yang majemuk namun memiliki persatuan dan kesatuan yang melekat kuat.

Nah, potensi keharmonisan tersebut tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sebagaimana tercermin dalam suasana hidup kekeluargaan dan hidup bergotong royong.

Di dalam sejarah bangsa Indonesia hubungan kerjasama antarpemeluk agama terlihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti saling tolong-menolong dalam pembangunan tempat ibadah dan dalam membangun bangsa dan negara.

Namun, fenomena yang dihadapi oleh bangsa dan negara Indonesia pada 2016 dan 2017 adalah masih dibayang-bayangi oleh ancaman terorisme dan krisis kebhinnekaan.

Seperti, nom yang terjadi di Samarinda, Kalimantan Timur (13/11/16) lalu, merupakan salah satu bukti dari eksistensi kelompok garis keras yang berupaya mengkonstruksi permasalahan sara baru dengan melakukan provokasi antarumat beragama di Indonesia.

Kemudian terjadi konflik sara di Indonesia pasca 4 November sedang berada di puncak tertinggi. Sehingga beberapa kelompok ormas kepentingan berupaya memanfaat kasus isu penistaan agama sebagai dalih menebar kebencian.

Adapun salah satu penyebab terjadinya ketegangan atau konflik dalam kehidupan beragama adalah akibat politik pecah belah (devide et impera) peninggalan masa penjajahan.

Dalam kasus politik tersebut penjajah memanfaatkan perbedaan agama atau paham agama untuk menumbuh kembangkan atau mempertajam konflik-konflik sebagai bahan propaganda dan adu domba bagi bangsa Indonesia pada saat itu.

Hal-hal yang memiliki potensi besar terjadinya konflik SARA antara lain:

Pertama adalah salah memahami makna dari perbedaan.

Kedua adalah tidak resapi secara baik dan positif dalam konteks kemajemukan.

Ketiga, Fanatisme yang keliru.

Keempat, Penganut agama tertentu menganggap hanya agamanyalah yang paling benar, mau 'menang sendiri' dan tidak mau menghargai.

Kelima adalah umat beragama yang over fanatik (negatif) dan yang terlibat dalam konflik ataupun yang menciptakan konflik adalah orang-orang yang pada dasarnya kurang memahami makna dan fungsi agama pada umumnya, kurang matang iman dan takwanya, tidak paham tentang toleransi beragama, tidak memahami dan menghargai hakekat hak manusia, tidak memiliki nilai-nilai kemanusiaan, terutama hati nurani dan cinta kasih, kurang memahami wawasan kebangsaan dan kemasyarakatan Indonesia yaitu kerukunan, toleransi dan persatuan dalam kemajemukan.

Namun, kebiasaan tersebut terbawa hingga sekarang dan digunakan oleh oknum tidak bertanggung jawab sebagai senjata utama untuk memecah belah kesatuan dan persatuan. Biasanya demi mengincar status politik atau tujuan tertentu.

Sekarang sudah selakyaknya kita semua warga Indonesia membuka lembaran baru, mulai bersikap cerdas dalam memahami permasalahan-permasalah ini secara dewasa.

Hilangkan sentimen saling benci membenci antarumat beragama, karena hal demikian hanya akan memecah persatuan dan kesatuan. Kerena perbedaan adalah kekuatan, bukan untuk perpecahan.

Semoga Perayaan Tahun Baru Imlek 'Gong Xi Fat Cai 2568' aman dan kondusif atas kinerja baik yang dilakukan oleh segenap aparat pemerintahan beserta masyarakat yang ikut berperan aktif dalam menjaga keamanan dan ketertiban umum. HIDUP KERUKUNAN BANGSA INDONESIA!!!

Rahfudin Sobari : penulis adalah peneliti di lembaga Kajiana Sosial Kebangsaan

Berita Terbaru